Akademisi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) Lasarus Jehamat menyebut praktik kawin tangkap di Kabupaten Sumba Barat Daya adalah bawaan feodalisme, dan dalam perkembangannya, ideologi kapitalisme turut pula bermain.
"Karena yang terjadi ini kan bukan soal perasaan dari hati kedua orang itu, tetapi lebih ke kalkukasi ekonomistik," ujar Lasarus kepada detikBali, Selasa (12/9/2023).
Dia mengatakan model perkawinan di Sumba dengan cara tangkap masih terus dipertahankan. Tidak saja karena relasi biologis atau sosiologis semata, tetapi untuk menjaga skema patronase masyarakat yang menganutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan demikian, siklus kekuasaan feodalisme sesungguhnya yang paling utama ada di situ dan menjadi penyebab kawin tangkap," ungkapnya.
Dia mengungkapkan dalam praktik kawin tangkap di Sumba, faktor utamanya adalah kekuasaan itu yang masih sangat kuat karena ada variabel ekonomi dan sosial sehingga tidak bisa ditolak.
"Karena akar kekuasaan itu yang masih terus dipertahankan di Sumba," katanya.
Dia menjelaskan tradisi itu hanya bisa diselesaikan oleh dan menurut mekanisme adat yang berlaku. Menurutnya lembaga lain di luar pun hanya sebagai pelengkap.
"Saya sangat yakin, semua lembaga adat punya mekanisme untuk menyelesaikan konflik yang ada. Dan itu hanya bisa diselesaikan dalam lembaga adat itu," imbuhnya.
Sebelumnya, publik dihebohkan dengan aksi kawin tangkap di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, pekan lalu. Seorang wanita tiba-tiba diculik lalu dilarikan dengan pikap oleh sekelompok pria.
Polisi telah menangkap setidaknya lima orang dalam praktik kawin paksa itu. Aksi mereka juga mendapat kecaman dari berbagai pihak karena dinilai melanggar hak perempuan.
(dpw/iws)