Arus utama Atlantik adalah sistem arus laut besar yang beroperasi di Samudra Atlantik. Arus ini memegang peranan penting bagi kestabilan iklim di belahan bumi utara. Lantas apa akibatnya jika arus ini berubah?
Arus Atlantik mengalir dari perairan hangat di sekitar khatulistiwa ke utara menuju Eropa dan kembali ke selatan melalui laut dalam. Arus utama Atlantik merupakan bagian dari "Sirkulasi Termohalin" atau juga dikenal dengan "sabuk pengangkut global," karena berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim dunia.
Secara sederhana, kestabilan arus utama Atlantik ini penting bagi planet Bumi, terutama berkaitan dengan kestabilan iklim. Namun, baru-baru ini, para ilmuwan menemukan arus utama Atlantik mulai melemah jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Apa penyebabnya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelemahan Arus Utama Atlantik
Dalam studi yang terbit di Nature Geoscience pada September 2024 oleh Gabriel M. Pontes dan Laurie Menviel, terungkap bahwa arus utama Atlantik mengalami pelemahan hingga mencapai sepertiga dalam 15 tahun ke depan.
Seorang paleoklimatolog dari University of New South Wales (UNSW), Laurie Menviel, menjelaskan bahwa Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC) merupakan bagian penting dari arus utama Atlantik yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
AMOC berperan sebagai "sabuk pengangkut global," yang mendistribusikan nutrisi, oksigen, dan panas ke seluruh planet. Dengan mengalirkan air hangat ke utara dan air dingin ke selatan, AMOC membantu menjaga suhu di kedua sisi Atlantik tetap stabil, yakni sekitar lima derajat Celsius lebih hangat dari yang seharusnya.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa AMOC terus melemah akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Jika pelemahan AMOC berlanjut, suhu di wilayah tropis berpotensi meningkat, sedangkan Eropa mungkin menghadapi penurunan suhu akibat hilangnya mekanisme stabilisasi distribusi panas.
Lebih jauh, Menviel menerangkan bahwa AMOC bahkan dapat berhenti total apabila perubahan iklim dan pemanasan global tidak terkendali.
"Hal ini dapat menyebabkan suhu anjlok di seluruh Eropa, badai berkembang biak di ekuator, dan efek tak terduga lainnya yang memengaruhi titik kritis di hutan hujan Amazon dan kawasan lainnya," jelas Menviel kepada Live Science, dikutip Senin (2/12/2024).
Menjadi Perdebatan Ilmuwan
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan bahwa kemungkinan sistem tersebut mencapai titik kritis pada abad ini adalah kurang dari 10%. Ini artinya, IPCC melaporkan bahwa tidak ada risiko besar dalam waktu dekat.
Meski begitu, beberapa model lain menunjukkan bahwa keruntuhan total AMOC bisa terjadi lebih cepat. Hal ini memicu perdebatan di antara para ilmuwan. Beberapa ilmuwan menilai bahwa risiko melemahnya AMOC telah diremehkan dan menuntut tindakan segera untuk mencegah dampak yang lebih besar.
"Komunitas ilmiah masih sangat terpecah mengenai topik tersebut. Aspek pertama adalah sulitnya mendapatkan perkiraan yang tepat mengenai tambahan air lelehan dan pelepasan es. Ada juga keyakinan bahwa fluks itu terlalu kecil untuk memengaruhi sistem," tutur Menviel.
Dalam studinya, Menviel dan rekannya, menciptakan model baru untuk menghitung perkiraan pelemahan AMOC. Hasilnya, model ini menunjukkan bahwa AMOC telah melambat sekitar 0,46 sverdrup atau satu juta meter kubik per detik sejak 1950.
"Penelitian ini penting karena mengonfirmasi apa yang telah diduga banyak orang tetapi belum ditunjukkan secara eksplisit sebelumnya," ujar Stefan Rahmstorf, seorang ahli kelautan dari Institut Penelitian Dampak Iklim Potsdam.
"Untuk masa mendatang, hasilnya menunjukkan bahwa kita harus mengantisipasi penurunan AMOC yang lebih cepat daripada yang diprediksi IPCC," tambahnya.
(faz/faz)