Hari Buruh Internasional diperingati setiap tanggal 1 Mei. Pada tahun ini, sejumlah isu menyangkut buruh selalu menjadi perhatian, termasuk soal ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Dalam beberapa tahun terakhir, PHK massal menjadi ancaman serius bagi para buruh. Pada awal tahun, misalnya, lebih dari 10 ribu pekerja PT Sritex terkena PHK akibat pailit.
Terbaru pada Maret 2025 lalu, lebih dari 1.000 pekerja di sebuah perusahaan tekstil di Cirebon terkena PHK, demikian dilansir detikJabar. Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi para buruh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengatasi ini, pemerintah disebut bakal bergerak dengan melakukan pendekatan dengan dunia usaha. Salah satunya adalah dengan membentuk Satgas Khusus yang mengurus soal PHK dan penciptaan lapangan kerja.
"Kemudian kalaupun memang benar masih ada di beberapa tempat tejadi PHK justru di situlah seperti tadi disampaikan kita terus koordinasi untuk bisa memitigasi," kata Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi kepada wartawan, Rabu (30/4/2025).
"Kita tidak ingin sekedar bagaimana menangani PHK di hilir, tetapi secara menyeluruh, secara komprehensif, kita pikirkan dari hulu ke hilirnya, dari sektor usahanya, maupun sektor industrinya, ini saling terkait," imbuhnya, dilansir detikFinance.
Ancaman Deindustrialisasi
Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan FISIPOL UGM, Dr Hempri Suyatna, S Sos, M Si, membenarkan bahwa PHK menjadi salah satu tantangan buruh di Indonesia untuk saat ini.
Terlebih, ada banyak perusahaan industri manufaktur maupun start up yang gulung tikar. Kondisi ini bisa jadi indikasi ancaman deindustrialisasi atau penurunan/berkurangnya peran industri dalam perekonomian suatu negara.
"Berbagai data ini menunjukkan adanya ancaman deindustrialisasi di tanah air," ucapnya saat dihubungi detikEdu, Rabu (30/4/2025).
Hempri menilai pemerintah perlu membuat kebijakan yang bisa meminimalkan proses PHK yang terus menerus terjadi. Sebab, kondisi ini telah membuat buruh khawatir berkepanjangan.
Menurutnya, pemerintah perlu mendorong ekosistem pengembangan usaha yang kondusif bagi semua jenis usaha maupun berbagai skala usaha. Adanya ekosistem pengembangan usaha yang baik ini diharapkan mampu membangun kepercayaan para pengusaha dan memberikan insentif/stimulus bagi perusahaan-perusahaan agar memiliki daya saing yang baik dan tetap survive di tengah goncangan-goncangan eksternal.
"Di sisi lain adanya ekosistem usaha yang baik diharapkan mampu mendorong investor-investor untuk menanamkan investasi dan membuka lapangan pekerjaan baru," terangnya.
Pemerintah Perlu Memikirkan Korban PHK
Hempri mengatakan bahwa pemerintah perlu segera memikirkan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi korban PHK. Misalnya dengan program-program padat karya yang melibatkan korban PHK sebagai solusi jangka pendek.
Di sisi lain, pemerintah harus memikirkan orientasi jangka panjang dengan memberikan program-program pelatihan dan pengembangan kapasitas kepada korban PHK. Tujuannya agar pekerja dapat disalurkan ke pasar kerja lainnya yang membutuhkan.
"Program penguatan jaminan sosial juga harus ditingkatkan baik untuk buruh formal maupun informal. Selama ini buruh-buruh informal ini yang seringkali kurang terjangkau sehingga cenderung rentan," ujar Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM tersebut.
"Hal demikian juga perlu dilakukan untuk perlindungan sosial bagi buruh-buruh outsourcing sehingga mereka tetap nyaman bekerja," imbuhnya.
Praktik Magang Harus Diawasi
Sementara itu, Hempri juga menyoroti tenaga kerja dengan status 'magang' di banyak perusahaan dan instansi. Praktik magang selama ini rentan terhadap eksploitasi.
Soal eksploitasi anak magang, kata Hempri, pemerintah harus mengawasi dan menindak tegas praktik-praktik semacam tersebut.
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 juga sudah menggariskan tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (BPTA) dan saat ini saya masih sering menemukan praktik-praktik pekerjaan yang memanfaatkan anak sebagai pekerja," ungkapnya.
Menurutnya, kasus-kasus eksploitasi anak magang bisa muncul karena lemahnya pengawasan ketenagakerjaan terutama di sektor informal. Selain itu, juga terkait belum optimalnya peran serta stakeholder (pengguna jasa dan organisasi ketenagakerjaan dalam upaya penghapusan BPTA).
"Oleh karena itu beberapa hal ini harus ditingkatkan sehingga bentuk-bentuk eksploitasi anak (yang magang kerja) dapat diminimalkan," tutur Hempri.
Diketahui, pada Hari Buruh 1 Mei 2025, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) memiliki beberapa tuntutan kepada pemerintah. Dua di antaranya soal praktik outsourcing yang perlu dihapus hingga antisipasi badai PHK.
Tuntutan juga meminta adanya perbaikan upah yang lebih layak. Selain itu, juga ada tuntutan untuk melindungi pekerja rumah tangga dengan mengesahkan rancangan UU PPRT (Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga).
(faz/pal)