Ceramah singkat Islam menjadi salah satu cara efektif untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan padat, jelas, dan penuh makna. Dengan menggunakan gaya penyampaiannya yang sederhana namun menyentuh hati, ceramah singkat sangat cocok untuk berbagai kesempatan, seperti kajian harian, khutbah Jumat, acara keluarga, hingga pengajian umum.
Selain itu, ceramah singkat Islam juga menjadi solusi bagi mereka yang memiliki waktu terbatas, namun tetap ingin mendapatkan asupan Islami. Dengan isi yang ringkas tetapi berbobot, ceramah ini mampu menggugah hati dan memberikan motivasi untuk menjalani hidup lebih baik sesuai tuntunan Islam.
Berikut adalah 8 contoh ceramah singkat yang inspiratif dan relevan di berbagai kesempatan yang dikutip dari buku Kumpulan Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun yang disusun oleh Moh. Abdul Kholiq Hasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kumpulan Teks Ceramah Singkat Islam
1. Bagaimana Mencintai Rasulullah SAW
Di setiap bulan Rabiul awal, sudah menjadi tradisi mayoritas umat Islam Indonesia melaksanakan peringatan Maulid Nabi. Berbagai kegiatan dan acara dilakukan untuk perhelatan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peringatan tersebut benar- benar mencerminkan kecintaan kaum muslimin kepada Nabi mereka? Ataukah itu hanya cinta sesaat yang sering kali pudar dan sirna bersamaan dengan selesainya peringatan tersebut? Lalu apakah hanya setahun sekali kita mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang seharusnya kita renungkan pada setiap pelaksanaan peringatan Maulid Nabi.
Jamaah yang berbahagia,
Tidak dipungkiri bahwa kita semua merasa mencintai Rasulullah SAW. Dari cinta itu kita semua berharap mendapat syafaat beliau kelak di akhirat. Namun sekedar pengakuan tentu tidaklah cukup. Setiap cinta membutuhkan bukti, dan bukti cinta kita kepada Rasulullah SAW adalah menjadikan Rasulullah SAW sebagai rujukan dan suri teladan dalam kehidupan kita sehari- hari. Mendahulukan cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya daripada yang lainnya merupakan landasan keimanan kita. Dalam surah Ali Imran, ayat 31-32 disebutkan,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيمُ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah SWT, ikutilah aku, niscaya Allah SWT mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu." Allah SWT Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kata- kanlah: "Taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang kafir."
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidak beriman seseorang di antara kalian, hingga aku lebih dicintai olehnya daripada bapak-bapaknya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya."
Ma'asyiral muslimîn rahimakumullâh,
Klaim atau pengakuan cinta kepada Rasulullah SAW perlu realisasi nyata dalam perilaku kita sehari-hari. Mustahil kita akan mendapatkan buah cinta kepada Rasulullah SAW berupa syafaat kelak di akhirat, kalau perbuatan kita sehari-harinya jauh dari apa yang diinginkan oleh Rasulullah SAW Hal ini nantinya akan terbongkar kelak di akhirat, di mana ketika semua umat Muhammad diberi kesempatan untuk meminum telaga Kautsar milik beliau apabila seseorang telah meminumnya, niscaya tidak akan merasa dahaga selama-lamanya - namun ternyata ada sekelompok umatnya yang tertolak dikarenakan mereka melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah Rasulullah SAW ajarkan. (HR. Muslim).
Dengan demikian, yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW "Anta ma'a man ahbabta" (Kamu akan dikumpulkan bersama orang yang kamu cintai) (HR. al-Bukhari), adalah kebersamaan yang diiringi pelaksanaan amal yang mampu menjadikan kita bersama dengan orang yang kita cintai. Ketika kita mencintai Rasulullah SAW, maka kita harus beramal sesuai apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, sehingga kelak di akhirat kita dapat bersama beliau.
Oleh karena itu, saya mengajak diri saya dan kaum muslimin untuk mencintai Rasulullah secara benar, dengan cara mengikuti apa yang telah diajarkannya dan menjadikan sunnah- sunnahnya sebagai pegangan dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Jauh dari bidah dan kultus individu yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Karena perbuatan bidah ini lebih disukai iblis daripada perbuatan maksiat lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Sufyân ats-Tsauri,
الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا. (شرح أصول الاعتقاد للالكاني
"Perbuatan bidah itu lebih disukai iblis daripada perbuatan maksiat. Karena kemaksiatan terkadang ditobati, sementara bidah tidak ditobati." (Syarh Ushûl al-I'tiqâd, karya al-Lâlikâ'i, 1/132).
Kenapa demikian? Karena pelakunya merasa tidak ber- salah, maka otomatis ia merasa tidak perlu untuk bertobat darinya. Bahkan justru sebaliknya, ia akan tetap melaksanakan amalan tersebut terus menerus, dan menyebarkannya, bertolak dari keyakinannya akan kebenaran amalan tersebut. Wal 'iyâdzu billah.
2. Antara Iman dan Amal
Kaum muslimin rahimakumullâh,
Iman berasal dari bahasa Arab, âmana, yang berarti mempercayai atau membenarkan (tashdiq). Dalam pengertian syarak, iman diartikan sebagai pembenaran dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dipraktikkan dengan anggota badan terhadap ajaran Islam. Dengan demikian, keimanan seseorang bisa dikatakan benar apabila mencakup 3 unsur. Pertama, adalalah keyakinan yang teguh dan kuat di dalam hati. Artinya bahwa hati betul-betul menerima, mengakui, dan meyakini segala hal yang harus diimani sesuai perintah agama. Keyakinan ini harus utuh dan tanpa ada sedikit pun pencampuran dan keraguan dalam imannya. Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Baqarah, ayat 42, "Janganlah engkau mencampuraduk kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah engkau menyembunyikan kebenaran, padahal engkau mengetahuinya." Kedua, keyakinan dalam hati ini diikrarkan dengan pengakuan dan ucapan lisan atau isyarat. Pengikraran ini disimbolkan dengan pengucapan dua kalimat syahadat. Ketiga, adalah realisasi dan pembuktian keimanan, atau dalam bahasa Al-Qur'an adalah "wa 'amilush shalihât", amal yang saleh dan perilaku yang baik. Atau dengan kata lain, mengamalkan al-Islam secara kaffah.
Seorang dikatakan benar-benar beriman, ketika lahiriahnya sesuai dengan batiniahnya, benar dalam keimanan, dan ikhlas dalam melakukan amalan. Merekalah yang dikatakan sebagai golongan 'ash-Shâdiqûn' (orang-orang yang benar dalam keimanannya), sebagaimana Allah SWT firmankan, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah SWT, mereka itulah orang-orang yang benar." (al-Hujurât: 15). Oleh karena itu, syarat diterimanya amalan adalah keberadaan iman. Para ulama mengatakan bahwa antara iman dan Islam tidak mungkin bisa dipisahkan. Pembedaan antara keduanya tidak lain hanyalah pembagian dalam pembahasan. Adapun orang yang mengklaim beriman dengan lisannya, tetapi iman itu tidak meresap ke dalam hatinya, maka dia merupakan orang munafik. Ciri-ciri munafik itu ialah antara kata mulutnya selalu beda dengan kata hatinya, dan orang-orang munafik adalah para penghuni dasar api neraka (an-Nisa': 145).
Jamaah yang berbahagia,
Sebagaimana telah kita kita ketahui, Islam adalah ad- Din yang berintikan iman dan amal. Jika iman itu diibaratkan "pokok"nya, maka dari pokok itulah keluar cabang-cabangnya. Cabang-cabang tersebut, dalam kaca mata Islam, meliputi semua bidang kehidupan. Maka seorang mukmin harus sadar dengan segala konsekuensi keimanannya. Karena ketika iman lemah, maka yang menjadi pendorong adalah hawa nafsu yang akan menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi iman tersebut. Tentunya, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.
Oleh karena itu, ketika seseorang mengucapkan kedua kalimat syahadat, ia harus sadar dan tahu apa yang terdapat di balik kedua kalimat syahadat itu. Di dalamnya terkandung semua perintah dan larangan. Bahkan semua tuntutan agama terkandung di dalamnya. Inilah sebabnya kaum kafir Quraisy enggan menerima dan mengucapkan kedua kalimat syahadat. Mereka sadar atas semua konsekuensi dari kedua kalimat tersebut.
Orang yang sudah mengucapkan kedua kalimat syaha- dat, secara syar'i dia dihukumi muslim. Harta, darah, dan kehor- matannya dijaga oleh Islam. Oleh karena itu, kedua kalimat syahadat adalah dasar teori dan praktek dari semua yang ter- cakup dalam Islam. Sehingga ketika seseorang tidak mau meng- ikrarkan kedua kalimat syahadat, maka baginya tidak ada kewajiban untuk melaksanakan Islam. Namun apabila seseorang telah mengikrarkannya, maka dia mempunyai sebuah kewajiban untuk mengimplementasikan Islam secara menyeluruh dalam kehidupannya (al-Baqarah: 208).
Kedua kalimat syahadat ini seharusnya menjadi roh kehidupan dunia, sebagaimana dikatakan Sayyid Quthb, bahwa kalimat tauhid adalah pedoman kehidupan. Keimanan terhadap kalimat tauhid akan menciptakan keselarasan antara manusia dan sunnatullah di alam ini. Oleh karena itu, apabia dunia ini dipenuhi kekufuran terhadap kalimat tauhid, maka yang terjadi adalah kehancuran dan kerusakan, karena sudah tidak ada lagi keserasian dengan alam yang semua takluk dan tunduk kepada pengakuan kalimat tauhid. Wal 'iyâdzu billâh.
3. Kedudukan Akhlak dalam Islam
Ma'âsyiral muslimin rahimakumullâh,
Akhlak atau budi pekerti dalam Islam menempati posisi yang sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pujian Allah SWT kepada Rasulullah SAW karena ketinggian akhlaknya. Sebagaimana dijelas- kan dalam surah al-Qalam, ayat 4: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." Bahkan beliaus sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyem- purnakan akhlak yang ada pada diri manusia, "Aku hanyalah diutus (oleh Allah SWT) untuk menyempurnakan akhlak." (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albâni). Di samping itu, akhlak menjadi tolok ukur kesempurnaan iman seorang hamba, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
"Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya." (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan disahihkan oleh al-Albâni). Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya."
Bahkan kelak di hari kiamat, akhlak ternyata menjadi sesuatu yang sangat berharga. Karena ternyata amal perbuatan yang paling berat di hari Kiamat adalah akhlak yang baik. Rasulullah SAW bersabda, "Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan amal) adalah akhlak yang baik." (HR. Abu Daud dan Ahmad, disahihkan al-Albâni). Tidak hanya itu, orang yang berakhlak mulia, kelak di surga akan berdampingan dengan baginda Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari Kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya." (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Dengan memerhatikan dalil di atas, sudah sepantasnya setiap muslim mengambil akhlak yang baik sebagai perhiasannya. Karena akhlak ataupun budi pekerti memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang baik akan membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia yang berakhlak mulia, dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat mengalahkan tekanan hawa nafsu syahwat setan, dan berpegang teguh kepada sendi-sendi keutamaan. Akhlak yang baik akan mengangkat manusia ke derajat yang tinggi dan mulia. Sedang akhlak yang buruk akan membinasakan seorang insan dan juga akan membinasakan umat manusia. Sebagaimana Allah SWT isyaratkan dalam kalam-Nya, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah SWT mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (asy-Syams: 7-10).
Oleh karena itu, akhlak merupakan salah satu pilar agama yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan tidak ada iman dan Islam kecuali dengan akhlak, karena akhlak mulia merupakan cerminan dari kualitas keimanan dan kebenaran Islam seseorang. Semakin baik iman dan Islam seseorang, maka semakin baik pula akhlaknya.
Jamaah yang berbahagia,
Di antara pokok akhlak dalam Islam adalah sifat malu. Sebagaimana Rasulullah SAW sabdakan, "Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu." (HR. Ibnu Majah). Dalam riwayat Muslim dijelaskan, "Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata." Malu yang dimaksud dalam hal ini adalah malu mengerjakan sesuatu yang yang tidak pantas menurut pandangan norma umum masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat. Adapun malu mengerjakan kebaikan, maka hal tersebut amat tercela dan tidak dibenarkan oleh agama. Dengan memiliki sifat malu, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Riyadhush Shâlihîn, seseorang akan mampu menahan dirinya dari perkara- perkara yang jelek dan menghalangi dirinya dari perbuatan maksiat, serta mencegahnya dari melalaikan kewajiban.
Orang yang masih memiliki rasa malu, tidak mungkin korupsi, mengambil hak orang lain, telanjang di depan umum, atau melakukan tindakan yang tidak pantas. Karena semua perbutannya akan selalu terlihat oleh Allah SWT. Namun apabila rasa malu sudah hilang, maka yang ada adalah perilaku hewan. Tidak ada bedanya antara manusia dengan hewan. Semua menjadi halal. Sungguh benar apa yang sabdakan Rasulullah SAW, "Jika kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu." (HR. Bukhari).
Semoga kita semua mampu meningkatkan kualitas akhlak kita dan mampu memperkokoh perasaan malu kepada Allah SWT Amin.
4. Agar Shalat Bisa Khusyuk
Kaum muslimin yang dirahmati Allah SWT,
Sebagaimana kita ketahui bahwa mendirikan shalat adalah kewajiban bagi setiap muslim. Barang siapa mendirikan shalat, maka ia telah mendirikan tiang agama. Barang siapa meninggalkannya, maka ia telah merobohkan tiang agama. Sesungguhnya shalat itu diwajibkan untuk menegakkan zikir kepada Allah SWT. Karena itu, kalau kita perhatikan seluruh perin- tah tentang shalat dalam Al-Qur'an, menggunakan kata (aqâma-aqîmû dan derivasinya) yang artinya "dirikanlah". Hal ini menunjukkan, bahwa dalam mendirikan shalat selain mengan- dung unsur lahir, juga mengandung unsur batin. Unsur batiniah itu adalah kekhusyukan dan kehadiran hati. Karena yang demikian itu merupakan roh dan inti shalat. Perhatikan kalam Allah SWT,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah SWT, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (Thâhâ: 14).
Jadi kalau kita shalat dan tidak ingat Allah SWT, malah yang diingat mobil, pekerjaan atau yang lainnya, maka shalatnya perlu dipertanyakan lagi. Karena itu pantaslah jika besaran pahala orang shalat itu berbeda-beda. Semua tergantung kepada kekhusyukan kita ketika shalat. Sebagaimana Rasulullah SAW sabdakan "Sesungguhnya seorang hamba itu terkadang shalat, namun hanya dicatat ganjarannya sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau setengahnya." (HR. Abu Daud).
Jamaah yang berbahagia,
Khusyuk menurut Imam al-Ghazali adalah buah keimanan dan hasil keyakinan akan keagungan Allah SWT. Siapa yang dapat merasakannya, niscaya akan khusyuk dalam shalatnya. Khusyuk bisa timbul dari kesadaran bahwa Allah SWT selalu melihat segala gerak-gerik hamba-Nya, kesadaran tentang keagungan-Nya, serta tentang kekurangan diri hamba dalam melaksanakan tugas-tugas Tuhannya. Selain itu, menurutnya, makna batin dalam shalat akan tercapai sekiranya terkumpul 6 hal. Pertama, kehadiran hati; yaitu kosongnya hati dari segala sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan apa yang dikerjakan atau diucapkan dalam shalat. Kedua, pemahaman mendalam terhadap apa yang dibaca. Ketiga, pengagungan dan penghormatan kepada Yang disembah. Keempat, rasa takut yang muncul dari keagungan Allah SWT atas kelalaian yang dilakukan. Kelima, pengharapan kepada pahala Allah SWT. Keenam, malu kepada Allah SWT atas kelalaian yang telah dilakukannya.
Ma'asyiral muslimîn rahimakumullâh,
Kekhusyukan dan kehadiran hati dalam menjalankan shalat, merupakan perilaku para salafus saleh. Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thâlib, apabila tiba saat salat, tubuhnya gemetar dan wajahnya berubah. Ketika ditanyakan hal itu, ia menjawab, "Telah tiba waktu melaksanakan amanah yang ditawarkan oleh Allah SWT kepada langit, bumi dan gunung-gunung; mereka semua menolaknya karena takut tidak mampu memikulnya. Tetapi aku kini memikulnya."
Kisah lain menyebutkan, bahwa Hâtim al-A'sham ketika ditanya untuk melukiskan shalatnya, ia berkata, "Bila datang waktu shalat, aku berwudhu dengan sesempurna mungkin, pergi ke tempat shalatku dan duduk di situ sampai tenang seluruh anggota tubuhku. Setelah itu aku bangkit dan memulai shalatku. Kujadikan Ka'bah di antara kedua mataku, shirat (jembatan ke surga) aku jadikan di bawah telapak kakiku, surga di sisi kananku, neraka di sisi kiriku dan malaikat maut di belakangku. Kuperkirakan ini sebagai shalatku yang terakhir dan aku pun berdiri di antara harapan dan kecemasan. Aku bertakbir dengan hati yang mantap dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an dengan tartil, kemudian aku mulai rukuk dengan hati merunduk dan bersujud dengan penuh khusyuk, duduk di atas bagian tubuhku sebelah kiri, menjadikan punggung kakiku sebagai alas, sambil menegakkan kaki kananku di atas ibu jarinya. Kulakukan semua itu dengan penuh keikhlasan dan setelah itu aku pun tidak tahu apakah shalatku diterima atau tidak?"
SubhanAllah SWT, begitulah sikap para ulama salaf. Mereka selalu takut kepada Allah SWT. Walaupun kedudukan mereka begitu tinggi, hal tersebut tidak menjadikan mereka takabur dan merasa aman dari azab Allah SWT. Mereka selalu dalam kondisi antara harap dan cemas. Lalu bagaimana dengan shalat kita? Hanya kita sendiri yang tahu jawabannya. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita semua, sehingga kita dapat mendirikan ibadah shalat dangan khusyuk. Amin.
5. Ibadah Anti Korupsi
Kaum muslimin rahimakumullâh,
Akhir-akhir ini, kejahatan korupsi mendapat sorotan tajam dan perhatian khusus dari seluruh elemen masyarakat. Tidak ketinggalan para tokoh agama turut prihatin dan menjadi sorotan balik oleh sebagian pihak. Bukan karena korupsinya para tokoh agama, melainkan peran ajaran agama yang mereka ajarkan.
Perlu kita renungi kembali sebagai bangsa yang mayoritas penduduk muslimnya terbesar di dunia. Renungan yang mampu mengembalikan jati diri kita sebagai manusia yang berketuhanan. Tuhan mengajari kita berbagai ritual ibadah. Tentu Tuhan tidak bermaksud dengan ritual tersebut "hanya" untuk memuaskan rongga batin yang sangat sulit diukur dan dibuat data statistik. Layaknya laporan keuangan yang mudah dimanipulasi dalam simbol angka yang penuh teka-teki. Ritual ibadah yang dimak- sudkan Tuhan tidak hanya untuk diri-Nya saja, tetapi ritual yang mampu membawa kepada perubahan diri dan sosial. Karena Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari diri kita. Allah SWT Mahakaya, dan seluruh makhluk di alam semesta semuanya fakir, butuh kepadanya (Fâthir: 15). Artinya kita jangan sampai mempunyai pemahaman yang salah ketika melaksanakan ibadah, bahwa itu berarti Allah SWT butuh kepada kita. Tentu, tidak. Ibadah itu dimaksudkan untuk kita sendiri. Baik untuk kehidupan dunia dan akhirat. Untuk akhirat, jelas kita semua mengharapkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan dunia ini, yaitu surga yang penuh dengan kebaikan. Adapun untuk kehidupan di dunia, maka hal inilah yang perlu kita sikapi kembali.
Jamaah yang dimuliakan Allah SWT,
Di antara sekian ritual ibadah yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam yang telah balig tanpa terkecuali dan dalam kondisi apa pun, adalah ibadah shalat lima waktu. Ibadah yang dikatakan sebagai tiang agama (HR. Turmudzi, no. 2825). Siapa yang mendirikan shalat, berarti ia menegakkan tiang agama, dan barang siapa menyia-nyiakan shalat, berarti ia merobohkan agama. Shalat juga dikatakan sebagai pembeda antara muslim sejati dan muslim KTP. Artinya, dalam KTP boleh saja sama tertulis beragama Islam, tetapi yang membedakan di antara mereka adalah kualitas shalatnya.
Kenapa shalat begitu penting dalam kehidupan beragama bagi umat Islam? Hal itu karena Islam ingin menanamkan kepada umatnya tentang nilai "muraqabatullah" (baca: pengawasan Allah SWT) kepada hamba-Nya. Selalu ingatatas pengawasan Tuhannya yang tidak pernah tidur (Thâhâ: 14). Minimal nilai itu muncul dalam lima waktu. Antara rentang-rentang lima waktu itulah manusia diharapkan mampu melakukan swamuraqabah (baca: pengawasan sendiri) yang bersumber dari"muraqabatullah" ketika ia melakukan shalat. Karena manusia itu lemah (an-Nisa': 28) dan mudah tergoda serta tertipu dengan berbagai fatamorgana dunia (Ali Imran: 14), maka diperlukan akses "muraqabatullah" sesering mungkin, minimal lima kali dalam sehari. Individu yang mampu mengakses "muraqabatullah" dengan baik dan sempurna dalam shalatnya, kemudian mampu mentranformasikannya ke dalam swamuraqabah (mengawasi diri sendiri) dan sosialmuraqabah (pengawasan sosial) dalam pekerjaannya, maka sudah bisa dipastikan ibadah itu akan menjelma menjadi ibadah anti korupsi. Bagaimana tidak, ketika seseorang punya niat untuk melakukan korupsi, ia akan selalu merasa diawasi, baik oleh dirinya, masyarakatnya, dan Tuhannya.
Dengan demikian, ibadah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas pribadi, tetapi juga bagaimana mampu menjelma dalam hubungan pola interaksi sosial. Maka, shalat bukan sekedar kepuasan ritual batin, atau bahkan hanya ritual politik panggung, guna menepis anggapan Islam KTP atau abangan. Yang terakhir ini kelihatannya mudah kita temui pada saat pemilu digelar, di mana para tokoh politik ber"hijau" ria untuk mencitrakan dirinya sebagai calon-calon pembela umat yang pantas untuk dipilih. Namun ketika sudah terpilih, mereka tidak sungkan-sungkan untuk menggelar sederetan sandiwara pembohongan dan penggarongan harta rakyat. Berangkat dari pencitraan diri yang dibuat-buat, bukan ikhlas karena Tuhan-Nya, maka tidak mengherankan jika banyak kita temukan fenomena pejabat kelihatan rajin shalat bahkan haji tiap tahun, tetapi rajin juga korupsi dan memanipulasi angka anggaran negara. Sesungguhnya orang yang demikan itu pada hakikatnya adalah fi shalâtihim sâhûn (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (al-Ma'ûn: 5). Lalai kalau Allah SWT selalu melihatnya dan mencatat seluruh amal perbuatannya.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita berlatih menjadikan ibadah kita sebagai sarana untuk mendidik kepribadian diri, keluarga, dan sosial masyarakat. Sehingga ibadah tidak berhenti hanya sebatas ritual tanpa makna.
6. Kejujuran dalam Berbisnis
Jamaah yang berbahagia,
Allah SWT berkalam,
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (At-Taubah: 119).
Dalam ayat tadi, Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa dan bersama orang-orang yang sidik. Makna sidik dalam bahasa kita dimaknai jujur, dapat dipercaya, dan ia merupakan lawan kata dari kata kidzb yang berarti kebohongan. Perkataan bisa dikatakan benar atau jujur apabila sesuai kenyataan yang terjadi. Bisa dikatakan bohong apabila perkataan tersebut tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Begitu pula dengan keyakinan dan perilaku seseorang. Untuk itu, antara kejujuran dan kebohongan tidak mungkin bersatu dalam satu obyek. Karena apabila terjadi, akan menjelma menjadi sebuah kemunafikan. Yaitu perilaku yang lahirnya terlihat jujur, namun batinnya dipenuhi dengan kebohongan. Dalam hadits Rasulullah SAW dijelaskan bahwa, "Tanda orang munafik itu tiga walaupun ia puasa dan salat serta mengaku dirinya muslim. Yaitu jika ia berbicara, ia berdusta, jika berjanji, ia menyalahi, dan jika dipercaya, ia khianat." (HR. Muslim).
Sayyid ath-Thantawi (2061), ketika mengomentari ayat di atas (At-Taubah: 119) menjelaskan bahwa kebenaran atau kejujuran itu meliputi segala aspek kehidupan, baik dalam niat, ucapan, dan perilaku. Niat atau motivasi yang ada dalam diri seseorang dikatakan benar apabila sesuai dengan tuntunan syariat. Begitu pula halnya dengan ucapan dan perilaku. Karena pada dasarnya seorang mukmin sejati meyakini bahwa, "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya." (al-Isra': 36).
Ma'âsyiral muslimîn rahimakumullâh,
Seorang pebisnis muslim yang taat, tentu akan selalu berusaha jujur dalam segala kehidupannya. Dimulai dari niat ketika berbisnis, modal yang digunakan, transaksi yang dipakai, bahkan sampai cara pemasaran dan pengelolaan laba. Dengan kata lain, dari hulu sampai hilir, ia akan selalu berusaha jujur, agar yang dilakukan dalam bisnisnya sesuai dengan ketentuan syariat. Jika seorang pebisnis telah mampu meletakkan kerangka kejujuran dalam semua lini usahanya secara profesional dan istiqamah, maka label syariah baru pantas disematkan kepadanya.
Selain diperintahkan berbuat jujur, dalam ayat di atas juga terkandung perintah kepada seorang mukmin untuk membentuk komunitas kejujuran. Sebagaimana Allah SWT perintahkan: "wa kûnû maash-shadiqîn" yang artinya: "dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (at-Taubah: 119). Ayat ini mengisyaratkan bahwa kejujuran perlu dibangun bersama dan membutuhkan komunitas untuk menyuarakan dan membentuk opini. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak cukup dirinya telah berbuat jujur, tetapi ia bersama orang lain, ia harus menjalankan kejujuran. Sehingga kejujuran menjadi gerakan masa dan mampu membentuk komunitas kejujuran. Karena kejujuran individual akan sangat mudah terobang-ambing, bahkan bisa jatuh, jika komunitas lingkungannya tidak mendukungnya. Seperti yang terjadi pada saat sekarang ini. Banyak orang yang dulunya dikenal jujur dan menyuarakan kejujuran, tiba-tiba tenggelam lenyak, bahkan terbawa arus kebohongan, tidak lain karena ia jauh dari komunitas kejujuran. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan orang yang jujur untuk bergabung dangan orang yang jujur, agar dapat saling menguatkan dan saling mengingatkan dalam kejujuran.
Dalam membentuk komunitas kejujuran, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah memulai dari diri sen- diri, kemudian mengajak keluarga atau teman terdekat dan masyarakatnya. Jika komunitas kejujuran sudah terbentuk dalam masyarakat, maka setiap individu akan merasa mudah dalam menjalankan bisnisnya. Roda perekonomian akan bergerak dengan cepat. Karena seseorang tidak lagi curiga ketika menyerahkan pengelolaan modal kepada pihak lain yang kekurangan modal. Pihak yang menyerahkan akan selalu merasa aman karena pihak yang diserahi selalu bertindak jujur. Inilah, menurut penulis, salah satu isyarat yang terdapat dalam surah al-Lail, ayat 6-7, bahwa Allah SWT akan memberikan kemudahan bagi orang yang memiliki karakter jujur.
Ketika seorang pelaku bisnis dapat berbuat jujur, sesung- guhnya ia telah menanamkan modal saham terbesarnya dalam berbisnis. Berbagai kemudahan akan ia dapatkan dalam kehi- dupannya. Di samping itu, kejujuran akan membawa keberkahan hidup dan harta. Karena tanpa keberkahan, harta tidak akan banyak membawa manfaat bagi si empunya.
7. Pendidikan Generasi Muslim
Jamaah yang dimuliakan Allah SWT,
Setiap manusia yang diciptakan oleh Allah SWT telah diberi misi dan tanggung jawab masing-masing untuk meneruskan kehidupan di atas muka bumi ini, di mana setiap tugas dan tanggung jawab tersebut merupakan amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Termasuk di dalamnya adalah memastikan terciptanya generasi muslim yang beriman, bertakwa, dan berkualitas. Tentunya menjalankan amanah bukanlah sesuatu yang mudah. Rasulullah SAW bersabda, "Seberat- berat agama ialah memelihara amanah. Sesungguhnya tidak ada agama bagi orang yang tidak memelihara amanah, bahkan tidak ada salat dan zakat baginya (tidak diterima)." (HR. al-Bazzår).
Jika kita perhatikan kehidupan anak-anak sekarang, ba- nyak aspek akhlak dan moral anak-anak yang memprihatinkan. Seperti masalah aurat yang serba terbuka, kelahiran anak di luar nikah, pergaulan bebas, narkoba, serta budaya pornografi dan pornoaksi. Semua ini menunjukkan lemahnya pendidikan agama dan kendornya ikatan akidah dan akhlak pada diri anak, di samping sulitnya anak mendapatkan suri teladan yang benar dari lingkungannya.
Salah satu konsep hidup yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW adalah keteladanan dan pendidikan terhadap anak-anak. Pendidikan anak bermula dari individu-individu yang menjadi ibu dan bapak itu sendiri. Seorang bapak maupun ibu harus mengerti tujuan kita dihidupkan Allah SWT di dunia ini, apa tugas dan kewajiban mereka, dan bagaimana pertanggungjawabannya kelak di sisi Allah SWT? Tanpa memahami perkara-perkara ini, mustahil lahir sebuah generasi yang bertakwa dan mampu memiliki kecemerlangan di dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Ma'asyiral muslimîn rahimakumullâh,
Anak merupakan amanah dari Allah SWT yang hendaknya dipelihara dan dibimbing sesuai dengan pesanan dan panduan syariat Allah SWT dan Rasul-Nya. Jika ini tidak dilaksanakan dengan betul, maka ia bisa menjadi penyebab orang tuanya terseret ke lembah neraka di akhirat dan mendapat malu di dunia. Amaran ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam surah at- Tahrîm, ayat 6: "Peliharalah diri kamu dan ahli keluarga kamu dari neraka."
Zaman telah berubah, perkembangan dan kemajuan kehidupan sedikit banyak telah mengubah nilai-nilai murni kehidupan dan keimanan kita. Maka sebagai ibu bapak, kita hendaklah banyak memberi bekal keimanan kepada anak-anak kita agar tidak hanyut dan lenyap ditelan perkembangan zaman. Sejak kecil, anak-anak seharusnya menerima asupan nutrisi pendidikan agama yang cukup. Mulai dari dalam kandungan, setelah lahir, hingga dewasa. Pendidikan agama sejak dini sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak. Hal ini diakui sendiri oleh ilmu pengetahuan modern yang mengatakan, bahwa masa yang paling dominan untuk membentuk kepribadian manusia adalah masa kanak-kanak. Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya, "Sesungguhnya setiap anak dilahirkan atas fıtrah (kesucian agama yang sesuai dengan naluri) sehingga lancar lidahnya, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan dia beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. ath-Thabarâni).
Jamaah yang berbahagia,
Berbicara tentang bagaimana cara mendidik anak, kita dapat menengok pendidikan yang dilakukan Luqman kepada anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an, yaitu mencakup asas pendidikan tauhid, akhlak (norma dan etika), shalat (ibadah), pendidikan amar makruf nahi mungkar (kepekaan sosial), bersikap tabah dalam menghadapi kehidupan ber- masyarakat (interaksi sosial). Pokok-pokok pendidikan dasar ini harus ditanamkan orang tua kepada anak sejak dini. Sudah barang tentu, orang tua harus berusaha menjadi teladan yang bisa ditiru oleh anak. Karena inti utama pendidikan anak adalah keteladanan. Oleh karena itu, saleh atau tidaknya seorang anak menjadi pertanda berhasil atau gagalnya orang tua dalam mendidik anak. Sabda Rasulullah SAW, "Dan bahwasanya anak- anak itu termasuk hasil usahamu." (HR. al-Bukhari).
Adalah menjadi harapan setiap orang tua agar dikaruniai anak-anak yang saleh. Anak saleh adalah investasi tanpa rugi bagi setiap orang tua. Di dunia ia memuliakan, dan di akhirat menyelamatkan dari siksaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim).
8. Islam Memuliakan Wanita
Ma'asyiral muslimîn rahimakumullâh,
Wanita adalah sosok makhluk yang menarik untuk selalu dibicarakan. Keberadaannya telah banyak disinggung dalam berbagai agama dan kepercayaan manusia. Namun tidak jarang agama dan kepercayaan tersebut memojokkan posisi wanita. Sebagai contoh misalnya, agama Yahudi dan Kristen menganggap wanita sebagai sosok yang paling bertanggung jawab atas dikeluarkannya Adam dari surga.
Hadirin yang berbahagia,
Sejarah tidak pernah mengenal adanya agama atau sistem yang menghargai keberadaan wanita baik sebagai ibu, anak, istri atau dirinya sendiri, yang lebih mulia daripada Islam. Ketika wanita sebagai ibu, Islam menjadikan hak seorang ibu itu lebih kuat daripada hak seorang ayah, karena beban yang amat berat ia rasakan ketika hamil, menyusui, melahirkan, dan mendidik. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Qur'an dengan diulang-ulang lebih dari satu surah, agar benar-benar dipahami oleh kita, anak manusia. Sebagaimana kalam Allah SWT, "Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah (pula). Mengandungnnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...." (al-Ahqaf: 15).
Ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW lalu bertanya, "Siapakah yang paling berhak saya pergauli dengan baik?" Rasulullah SAW menjawab, "Ibumu" sampai tiga kali, baru "Ayahmu." (HR. Bukhari-Muslim). Bahkan kepada ibu yang musyrik pun, Islam tetap memerintahkan untuk berbuat baik. Sebagaimana ditanyakan oleh Asmå binti Abu Bakar kepada Nabi tentang hubungannya dengan ibunya yang musyrik. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Ya, tetaplah kamu menyambung silaturahmi dengan ibumu." (HR. Muttafaq 'alaih).
Jamaah yang dimuliakan Allah SWT,
Adapun wanita sebagai anak, Islam telah membuat sejarah baru. Sebelum Islam datang, anak wanita tidak punya hak dan harga diri. Bahkan banyak yang menjadi korban kebiadaban akibat pembunuhan dengan hidup-hidup. Ketika Islam datang, anak wanita memiliki kedudukan seperti anak laki-laki, semua sama- sama pemberian Allah SWT (asy-Syûrå: 49-50). Islam mengecam keras pembunuhan anak-anak, baik anak laki-laki atau perempuan (al-Isra': 31). Islam menjanjikan surga bagi yang sabar mendidik anak perempuannya. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa merawat dua anak gadis hingga akil balig, maka ia datang pada hari Kiamat, sedangkan saya dan dia seperti ini." Kemudian Nabi merapatkan telunjuknya (artinya, saling berdekatan). (HR. Muslim).
Sedangkan wanita sebagai istri, Rasulullah SAW adalah teladan yang paling tepat dalam memuliakan seorang istri. Beliau dikenal sangat santun dan lembut terhadap istri. Tidak pernah berbuat kasar, apalagi sampai memukul. Bahkan beliau sering membantu para istrinya untuk menyelesaikan tugas-tugas di rumah. Di antara kelembutan Rasulullah SAW adalah beliau pernah mendahului Aisyah berlomba lari dua kali. Yang pertama, Aisyah mengalahkan beliau. Kedua kalinya, beliau mengalahkan Aisyah. Maka beliau bersabda kepada Aisyah, "Ini sebagai balasan atas kekalahan yang dulu." Sebab, saat itu, Aisyah sudah berubah menjadi agak gemuk. Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan saya adalah sebaik-baik orang terhadap keluarga saya." (HR. Ibnu Hibbân).
Jamaah yang dimuliakan Allah SWT,
Sedangkan wanita sebagai dirinya sendiri, Islam sangat jelas memuliakannya. Hal ini terlihat saat Islam memberi hak kepada wanita untuk belajar, bekerja, dan beribadah, sama dengan laki-laki. Bahkan wanita diperbolehkan ikut dalam peperangan. Diriwayatkan dari Ummi 'Athiyyah, ia berkata, "Saya pernah berperang bersama Rasulullah SAW sebanyak tujuh peperangan. Saya ada di belakang mereka dalam keberangkatan mereka. Saya membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang- orang yang terluka, dan merawat orang-orang yang sakit." (HR. Muslim).
Walhasil, Islam tidak pernah mendiskriminasikan wanita, karena kewanitaannya. Beberapa aturan yang ditetapkan oleh Islam kepada wanita, bukan dimaksudkan untuk menghinakan wanita, sebagaimana tuduhan musuh-musuh Islam. Tetapi aturan tersebut dimaksudkan üntuk melindungi dan menjaga kehormatan wanita muslimah. Telah terbukti dalam sejarah bahwa hanya Islam yang mampu menjaga kemuliaan dan kehormatan wanita.
Itulah 8 contoh ceramah singkat Islam dengan berbagai tema yang penuh makna dan relevan untuk kehidupan sehari-hari. Semoga dapat menjadi inspirasi dan panduan bagi Anda.
(inf/inf)
Komentar Terbanyak
Vasektomi Ingin Dijadikan Syarat Bansos, MUI: Haram
Israel Bak 'Neraka' Imbas Dilanda Kebakaran Hutan
Pandangan Ulama soal Vasektomi untuk Syarat Bansos