Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia (UKP RI) Bidang Ketahanan Pangan Muhammad Mardiono naik combine harvester, di Karawang. Ia menuai padi hasil pupuk organik yang terintegrasi.
Kegiatan itu, dilakukan di lahan sawah pilot projek pertanian sirkular terintegrasi Nasional, yang beralamat di Desa Kamurang, Kecamatan Tirtamulya, Kabupaten Karawang.
Mardiono menuturkan, ketergantungan pupuk kimia para petani saat ini akan mempengaruhi tingkat produksi dan biaya tanam, bahkan berpotensi pada tingkat kerusakan unsur hara atau pH tanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita melihat bagaimana lahan sawah ini dipanen dengan metode tanam pupuk organik, dimana saat ini para petani kita ketergantungan pada pupuk kimia, yang mana akan bergantung pada tingkat produksi, biaya tanam, hingga kerusakan unsur pH tanah," ujar Mardiono, saat kunjungan di Tirtamulya, Kabupaten Karawang, Sabtu (26/4/2025).
Dalam kunjungan kali ini, Mardiono melihat bagaimana pilot project atau percontohan sawah yang ditanam dengan metode pupuk organik, yang telah dilakukan selama tiga kali masa tanam.
"Karena ketergantungan pada pupuk kimia, kita melihat saat ini rata-rata sawah di Karawang pH nya masih dibawah 4, (dalam skala 0-14) dimana ini sudah kurang produktif untuk bertanam. Dan ini terjadi karena petani kita ketergantungan pada pupuk kimia, oleh sebab itu pertanian sirkular terintegrasi ini jadi contoh bagaimana bertanam dengan metode pupuk organik," kata dia.
Mardiono menjelaskan, bandingan hasil dari pupuk organik dan pupuk kimia cukup signifikan, "Saat ini petani kita mampu menghasilkan 6-7 ton per hektare sawah, bahkan didaerah lain dengan pupuk organik ada yang mencapai 9 ton. Perbandingan hasilnya cukup signifikan dibanding sebelumnya menggunakan pupuk kimia, yang hanya menyentuh angka 4-5 ton dalam satu hektare," ungkapnya.
![]() |
Pertanian sirkular terintegrasi nasional sendiri menggabungkan antara peternakan dan pertanian, dimana pupuk hewani yang berasal dari kotoran hewan digunakan untuk mempuk padi, sehingga berimbas pada biaya tanam yang berkurang dengan hasil panen yang meningkat.
"Ini akan mempengaruhi terhadap biaya tanam, sekaligus tingkat kesuburan tanah juga akan naik, karena sebelumnya dengan pupuk kimia biaya tanam lebih tinggi, namun dengan pupuk hewani ini bisa lebih murah bahkan tingkat serangan hama juga akan semakin rendah, dan ini sudah kita uji," paparnya.
Nasib Petani Gurem
Di Indonesia, kata Mardiono, ada 17 juta petani gurem (petani keterbatasan lahan), dan ini menjadi fokus pemerintah pusat, agar petani kecil juga dapat menjangkau fasilitas produksi panen seperti alat berat, serta pengairan yang terintegrasi.
"Di Indonesia ada 17 juta petani gurem, ini juga harus mendapatkan fasilitas produksi seperti combine, irigasi tersier, dan hal lain. Bagaimana supaya itu terjadi, kita akan mengelompokan petani kecil, selain diberi penyuluhan kita juga akan berikan hewan ternak sebagai penunjang pupuk organik untuk sawah," ujar dia.
"Sudah ada rumusnya bahwa satu hektare tanah membutuhkan minimal 2 ekor sapi ternak, jadi kalau nanti satu kelompok ada 15 hektare, akan membutuhkan 30 sapi untuk memproduksi pupuknya. Ini akan terintegrasi selain mendapat penghasilan dari panen petani juga dapat penghasilan dari ternak," lanjutnya.
Untuk menampung hasil-hasil panen dan ternak tersebut, kata Mardiono, selain dilakukan penyerapan Gabah Kering Panen (GKP) oleh Bulog, juga akan dibentuk Koperasi Merah Putih di tiap Desa.
"Di koperasi merah putih ini lah nanti para petani dapat menjual hasil panen nya, sehingga dengan pertanian terintegrasi ini. Diharapakan kita mampu swasembada pangan, dan para petani secara umum juga sejahtera," pungkasnya.
(yum/yum)