Suasana Kampung Sate Maranggi di wilayah Plered, Kabupaten Purwakarta tak seperti biasanya. Deretan warung sate tampak lesu. Tak banyak pengunjung yang datang untuk menikmati sate yang identik dengan Kabupaten Purwakarta itu.
Sepinya pengunjung yang datang ke Kampung Sate Maranggi yang berada di samping Stasiun Kereta Api (KA) Plered ini ternyata beralasan. Adanya pemberlakuan grafik perjalanan KA (Gapeka) membuat minat pengunjung datang ke kampung Sate Maranggi merosot.
Pemberlakuan Gapeka 2023 ini selain berpengaruh pada efisiensi waktu perjalanan KA, juga menyebabkan perubahan jadwal keberangkatan, stasiun pemberhentian dan penomoran KA pada sebagian besar KA baik itu KA Jarak Jauh maupun KA Lokal yang beroperasi di wilayah Daop 2 Bandung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu kereta yang terdampak adalah kereta api lokal jurusan Garut - Purwakarta. Sesuai jadwal, kereta itu transit di Stasiun Plered hanya sekitar 15 menit. Padahal di jadwal sebelumnya kereta itu bisa transit atau berhenti hingga berjam-jam.
Kondisi ini yang membuat para pelanggan sate Maranggi di Kampung Sate Maranggi Plered, Purwakarta merosot tajam. Padahal biasanya mereka meraup cuan dari pengguna KA yang turun sementara di Stasiun Plered.
"Sangat berdampak, karena kan dulu berhentinya lama bisa berjam-jam jadi bisa istirhat dulu, jalan-jalan para penumpangnya dan banyak banget yang makan sate, kalau sekarang hanya satu dua, itu pun beli satenya yang udah siap, karena waktunya sedikit," ujar Yuri Angraeni ditemui detikJabar di tempat jualannya, Jumat (2/6/2023).
Yuri mengatakan, saat belum ada perubahan jadwal di stasiun Plered, para pelanggan yang turun dari kereta bisa membeli sate hingga ratusan tusuk. Namun saat ini seiring waktu yang terbatas, mereka ogah turun karena ketakutan ketinggalan kereta.
"Perubahan ini sudah lama, setelah pandemi lah, tahun kemarin kira-kira. Biasanya warga Bandung itu rombongan sengaja ke sini buat makan sate sekarang mah yang ada mereka ketakutan ketinggalan kereta, jadi beli yang udah ada dan sedikit," ungkapnya.
Yuri merupakan pedagang sate turunan ke empat dari nenek moyangnya. Dia yang berusia 29 tahun sudah mengalami berbagai perubahan, mulai dulu berjualan di sekitar Stasiun, kemudian pindah ke pinggir jalan hingga di dirikan kampung sate maranggi ini.
Ia tidak meminta adanya perubahan jadwal kereta api kembali, karena itu sudah ditentukan oleh pihak PT KAI. Ia tetap eksis meski alami penurunan pelanggaran dari penumpang kereta api.
Dalam sehari ia masih bisa menjual sate hingga 500 tusuk. Namun jika di hari libur penjualan bisa mencapai 1.000 tusuk dalam sehari. Bahkan di hari Lebaran, penjualan sate hingga 3.000 tusuk dalam satu hari
"Kalau penurunan secara umum adalah 20 persen. Tapi Alhamdulillah tetap rame, yang datang mereka yang sengaja pengen makan di sini," pungkasnya.
Sare Maranggi di lokasi wisata kuliner ini dibanderol seharga Rp 2.000 per tusuk, nasi Rp 3.000 per bungkus dan ketan bakar Rp. 5.000 per buah, yang menjadi pembeda adalah jumlah tusukan, komposisi sate, hingga kecapnya.
Saksikan juga Sudut Pandang: Diabetes, "Silent Killer" Balita dan Remaja Indonesia