·ÉËÙÖ±²¥

Cerita dan Mitos Batu Palinggih di Situs Astana Gede Kawali Ciamis

Unak-anik Jabar

Cerita dan Mitos Batu Palinggih di Situs Astana Gede Kawali Ciamis

Dadang Hermansyah - detikJabar
Minggu, 16 Jun 2024 06:00 WIB
Batu Palinggih di Situs Astana Gede Kawali, Kabupaten Ciamis yang memiliki cerita menarik.
Batu Palinggih di Situs Astana Gede Kawali, Kabupaten Ciamis yang memiliki cerita menarik (Foto: Dadang Hermansyah/detikJabar).
Ciamis -

Situs Astana Gede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, menyimpan sejumlah prasasti dan peninggalan sejarah Kerajaan Galuh. Salah satunya yang menarik untuk dibahas ada Batu Palinggih. Konon batu tersebut digunakan untuk melantik para Raja Galuh saat memerintah di wilayah Kawali.

Batu Palinggih atau juga Batu Korsi merupakan peninggalan Kerajaan Galuh yang paling besar diantara prasasti lainnya. Bentuknya panjang dan pipih di tengahnya terdapat batu yang berdiri sebagai sandaran raja saat menjalani prosesi pelantikan.

Letak Batu Palinggih berada di bagian tengah Situs Astana Gede paling awal di antara prasasti lainnya. Konon dulunya batu tersebut adalah lempengan besar, namun pecah oleh masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kang Enno, Budayawan Kawali menjelaskan, masyarakat Kawali menyebut batu itu Palinggih, sedangkan secara arkeologi disebut Batu Korsi atau tempat penobatan raja.

"Jadi setiap calon raja di Kerajaan Galuh kalau mau dilantik duduk di batu itu untuk melaksanakan prosesi pelantikan," ujar Enno kepada detikJabar, Sabtu (15/6/2024).

ADVERTISEMENT

Enno menjelaskan, Batu Palinggih berbeda dengan Singgasana. Di beberapa situs atau kabuyutan, biasanya terdapat batu untuk pengobatan raja. Sedangkan singgasana hanya ada di keraton.

"Situs-situs di Galuh khususnya mempunyai batu untuk penobatan. Di Karangkamulyan ada, di Bogor juga ada peninggalan Padjajaran," ungkapnya.

Batu Palinggih itu pertama digunakan saat pelantikan Raja Galuh Prabu Ajiguna Linggawisesa pada tahun 1333. Prabu Ajiguna Linggawisesa merupakan raja pertama yang memerintah di Kerajaan Galuh Kawali. Sedangkan batu itu terakhir digunakan untuk pengobatan Raja Prabu Jayadewata atau masyarakat menyebutnya Prabu Siliwangi.

"Jadi Batu Palinggih ini dipakai penobatan 7 raja. Dari tahun 1333 raja pertama sampai tahun 1482 raja terakhir," katanya.

Enno pun belum mengetahui secara pasti prosesi penobatan raja di Batu Palinggih tersebut. Mengingat tidak disebutkan secara detail dalam naskah-naskah kuno.

"Tapi yang jelas sistem pemerintahannya itu memiliki pola Tritangtu yaitu ada Rama, Resi dan Ratu," ungkap petugas di Astana Gede Kawali ini.

Cerita Mitos Batu Palinggih yang Bikin Batu Terbelah

Setiap peninggalan atau benda tertentu biasanya memiliki cerita mitos yang melekat di masyarakat, termasuk juga Baru Palinggih. Konon masyarakat Kawali dulu percaya apabila mampu mengangkat Batu Palinggih itu maka segala keinginannya cepat terkabul.

"Sebelum Astana Gede Kawali ini diresmikan oleh pemerintah, dulu masyarakat Kawali mempercayai siapa saja yang ke Astana Gede dan mencoba mengangkat batu itu maka keinginannya cepat tercapai," ucapnya.

Enno menerangkan ternyata masyarakat salah mengartikan kata diangkat dari baru itu. Padahal orang terdahulu memberitahukan diangkat itu adalah pengangkatan raja.

"Tapi itu kebanyakan salah arti, jadi malah mengangkat batu tersebut. Padahal memberitahukan bahwa itu pengangkatan raja," jelasnya.

Akibat cerita mitos tersebut, Batu Palinggih tersebut yang tadinya lempengan menjadi pecah beberapa bagian. Tapi sekarang masyarakat sudah tidak ada lagi yang mencoba mengangkat batu itu setelah dijaga dan dilindungi pemerintah.

"Awalnya batu itu satu lempengan tapi terbelah-belah. Mitos memang ada sisi baik dan sisi buruk. Sekarang urang yang datang ke sini didampingi, dipandu dan dijelaskan. Kalau di Sunda itu jangan langsung menyimpulkan karena leluhur kita memakai bahasa-bahasa sastra jadi harus dibedah dahulu," pungkasnya.

(mso/mso)

Berita ·ÉËÙÖ±²¥Lainnya
detikFinance
detikTravel
detikFood
detikNews
Sepakbola
detikInet
detikHot
detikHealth

Hide Ads