Perajin lurik asli Klaten, Arif Purnawan (56) membuat karpet dengan bahan baku kain limbah menggunakan mesin alat tenun bukan mesin (ATBM). Inovasi ini berhasil mengantarnya memperoleh penghargaan dari Dewan Kerajinan Nasional.
Tampak di rumah produksi lurik miliknya yang terletak di Desa Beji, Kecamatan Pedan, ada sekitar 7 pekerja yang tengah melakukan produksi tenun, karpet, serta hasil karya lainnya. Meski umur tak lagi muda, para pekerja yang dominan perempuan itu tetap semangat menenun menggunakan mesin ATBM.
Salah satu pekerjanya, tengah menyusun limbah dari pinggiran kain untuk disatukan dan diproses menjadi karpet berukuran 120 meter. Dengan teliti dan telaten, mereka sibuk menyelesaikan garapannya masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini lagi membuat karpet dari limbah pabrik di Bandung. Jadi dari limbah pabrik besar yang dibuang itu, ketika ketemu saya, saya berpikir ini mau dijadikan apa, akhirnya jadilah karpet ini," ungkap Arif, saat ditemui di rumah produksinya.
Arif mengatakan inovasi kerajinan dari limbah itu telah dibuat sejak tiga tahun lalu. Inovasi buatan Arif yang dinamai karpet upcycled dengan tenun ATBM itu pun telah sukses membawa Arif meraih penghargaan dari Dewan Kerajinan Nasional sebagai Karya Kriya Terbaik Indonesia pada 13 September 2023 lalu.
"Produksi karpet dari limbah sudah sejak 3 tahun yang lalu, saya menemukan sebuah inovasi baru. Ini bahan pinggiran yang sudah dibuang, nggak ada harganya lah. Jadi belinya murah, akhirnya dijual menjadi barang berharga," imbuh dia.
Dalam sehari, lanjut Arif, seorang pekerja hanya bisa membuat 1 karpet berukuran 80×200 centimeter (cm). Karpet produksi Lurik Rachmad yang telah dijual hingga ke berbagai penjuru itu pun dihargai mulai dari Rp 400-900 ribu, tergantung motif dan lebar karpet.
"Lama pengerjaannya kalau yang lebar cm itu kadang-kadang dua hari. Kalau tenun biasa itu biasanya kan 8 meter, tapi kalau untuk karpet ini khusus," ungkapnya.
Kini, karpet dari bahan limbah itu pun sudah banyak ditemui di hotel-hotel di Ubud, Bali. Biasanya para pemilik hotel akan membuat desain terlebih dulu untuk kemudian diberikan kepada Arif dan disesuaikan lagi motif serta warnanya.
"Tahapnya pertama kita menggulung namanya lusi, ditentukan, mau warna apa. Motifnya abstrak, kita sesuaikan dengan kamarnya warna apa, tema apa," paparnya.
Selain memproduksi karpet dari limbah bahan, Arif yang merupakan penerus generasi ketiga dari Lurik Rachmad dan sudah menggeluti industri tenun selama 30 tahun itu juga memiliki inovasi lain. Seperti motif geretan Ganjar, penggunaan fragrance root untuk table runner, hingga eceng gondok untuk tas.
(akn/ega)