Kota Magelang ternyata punya sejarah kejayaan pabrik cerutu di masa lampau. Bahkan, cerutu bikinan Magelang tembus pasar Belanda hingga Jerman.
Bekas bangunan pabrik cerutu yang didirikan Ko Kwat le pada tahun 1920 masih bisa ditemui di Jalan Tarumanegara, Kota Magelang. Lokasi bangunan ini menghadap ke barat ke arah Kali Manggis.
Pantauan detikJateng, bekas pabrik cerutu ini terlindung dengan pagar kayu dengan cat warna biru muda. Sedangkan gedung kuno ini bercat merah muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagian depan gedung tersebut masih terlihat dengan utuh jendela maupun pintunya. Ada pintu masuk utama menuju bangunan yang melengkung dengan gerbang besinya.
Warga yang melintas di Jalan Tarumanegara bisa melihat bekas bangunan pabrik cerutu yang masih berdiri kokoh dan utuh.
Pabrik cerutu ini pada awalnya berdiri di Batavia pada 1900. Beberapa tahun kemudian pabrik ini berpindah di Magelang dengan diberi nama Ko Kwat Ie & Zonen Sigarenfabrieken.
"Pabrik cerutu ini didirikan Ko Kwat Le pada tahun 1900 di Batavia. Dalam proses perjalanan waktu rupanya di Batavia mengalami kendala terkait bahan baku dan tenaga kerja. Lalu, memindahkan industrinya ke Magelang," kata pegiat Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Priyana kepada detikJateng, Sabtu (29/3/2025).
Dipilihnya Magelang tersebut, kata Bagus, cukup beralasan. Sebab Magelang dekat dengan daerah penghasil tembakau, Temanggung. Selain itu, masalah tenaga kerja juga masih banyak.
"Awalnya, pabrik cerutu berada di Pecinan (masih di rumahnya). Terus pindah di Juritan Kidul (perkampungan), Ko Kwat le mendirikan rumah dan di sebelahnya ada pabriknya," kata Bagus.
"Rupanya pabrik kurang representatif karena permintaan produksi banyak dan tenaga kerja. Kemudian mendirikan pabrik yang besar di Prawirokusuman Wetan atau sekarang dikenal Jalan Tarumanegara pada tahun 1920. Pabriknya sangat besar, di mana bisa menampung pekerja hingga 2.500 sampai 3.000," tambah Bagus.
Bagus mengatakan, hasil produksi cerutu Ko Kwat le digemari oleh kalangan atas. Bahkan, produk cerutu itu tembus hingga pasar Eropa.
"Hasil produksinya memang untuk kalangan tertentu, kalangan orang berada diekspor ke Eropa, khususnya Belanda, Jerman terus di Hindia Belanda. Jadi segmented, untuk kalangan orang-orang menengah ke atas," ujarnya.
"Pabrik cerutu ini rupanya cukup berhasil di wilayah Hindia Belanda. Karena pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda (saat itu), terus dari Solo, Pakubuwono X. Artinya pabrik ini cukup terpandang, cukup disegani dan populer," tambahnya.
Sayangnya, era kejayaan pabrik cerutu itu tidak berlangsung lama. Hantaman krisis ekonomi yang terjadi di Eropa pada 1930 membuat penjualannya menjadi seret.
Kondisi pabrik kian memburuk saat pendirinya, Ko Kwat le meninggal pada 1938. Beberapa tahun kemudian, penjajah Jepang yang mulai masuk ke Hindia Belanda membuat pabrik itu semakin kesulitan untuk bertahan.
"Ketika Jepang masuk Magelang 1942, terjadi Perang Dunia kedua juga berdampak pada pengiriman hasil ekspor cerutu. Di wilayah Hindia Belanda sama halnya para konsumen nggak ada," tuturnya.
Di era kemerdekaan, anak-anak Ko Kwat Le pernah berusaha menghidupkan kembali bisnis tersebut. Hanya saja pasar cerutu sudah tidak gemerlap pagi.
"Sehingga secara pelan, tapi pasti pabrik itu mengurangi produksi dan pada akhirnya tutup pada tahun sekitar tahun 1970-an," katanya.
Setelah pabrik tutup, kata Bagus, mereka berusaha eksis kembali dengan olahan sirup, namun tidak berhasil. Kemudian, saat ini bekas pabrik cerutu tersebut sudah berpindah tangan menjadi milik perusahaan karoseri mobil.
(aku/aku)