Perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) bertepatan dengan tradisi Wulan Kapitu dari Suku Tengger, yaitu upacara Pati Geni.
Dalam upacara ini, masyarakat tidak menyalakan lampu, keluar rumah, atau membuat kegaduhan sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi tersebut.
Perlu diketahui, tradisi ini dilakukan sejak tanggal 29 - 30 Desember 2024. Detikjatim merangkum fakta menarik dari tradisi ini. Simak selengkapnya berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-Usul Tradisi Upacara Pati Geni
Secara harfiah, kata Pati Geni berarti "mati api" atau "berhenti menyalakan api", yang melambangkan penghentian segala aktivitas duniawi, terutama yang berkaitan dengan api dan keramaian.
Masyarakat Tengger meyakini bahwa upacara ini bertujuan untuk mencapai ketenangan batin dan mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Esa), leluhur, serta alam sekitar.
Bagi masyarakat Tengger, Pati Geni bukan sekadar upacara adat, tetapi juga cara untuk mempererat ikatan sosial antarwarga dan memperkuat hubungan dengan alam serta leluhur. Meskipun ada pembatasan aktivitas, tradisi ini justru mempererat kebersamaan.
Tradisi Pati Geni juga berfungsi sebagai pengingat bagi masyarakat Suku Tengger akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan spiritual.
Dengan melestarikan tradisi ini, mereka tidak hanya menjaga adat istiadat yang diwariskan turun-temurun, tetapi juga menciptakan ruang bagi refleksi diri dan pembaruan spiritual yang mendalam.
Mengenal Tradisi Upacara Pati Geni
Tradisi Pati Geni atau yang dikenal dengan sebutan Megeng merupakan sebuah upacara sakral yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dalam tradisi ini, masyarakat Suku Tengger melakukan ritual yang melibatkan puasa dengan suasana yang lebih tenang dan hening, yang dikenal dengan istilah amati geni, amati lelungan, dan amati karya.
Masing-masing amati ini memiliki makna mendalam: amati geni berarti tidak menyalakan api, amati lelungan berarti tidak bepergian, dan amati karma berarti menahan diri dari segala bentuk aktivitas yang mengganggu ketenangan.
Selama bulan Wulan Kapitu, yang menjadi waktu pelaksanaan upacara ini, masyarakat Tengger juga dihimbau untuk melaksanakan poso mutih atau puasa mutih, di mana mereka hanya mengonsumsi nasi putih dan air putih.
Tujuan dari puasa ini adalah untuk mengendalikan hawa nafsu duniawi dan mencapai kedamaian batin, serta sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Tradisi ini mengajarkan kesederhanaan dan kontrol diri sebagai bagian dari proses spiritual.
Salah satu bagian unik dalam upacara Pati Geni adalah pemadaman listrik yang dilakukan dua kali: pertama pada awal dan kedua pada akhir bulan Wulan Kapitu. Pemadaman ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang hening, tenang, dan khidmat, sehingga seluruh masyarakat bisa lebih fokus dalam melaksanakan ritual dengan khusyuk.
Dalam keadaan gelap tanpa lampu, masyarakat merasakan kedekatan dengan alam dan Tuhan, yang memberi mereka kesempatan untuk refleksi diri dan spiritualitas. Upacara Pati Geni memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Tengger, terutama yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur.
Imbauan Pihak Setempat
Dilansir detikJatim, Dalam rapat yang digelar pada Senin (23/12/2024), Ketua PHDI Kabupaten Probolinggo, Bambang Suprapto, mengumumkan bahwa Gunung Bromo akan ditutup selama 24 jam pada 29 Desember 2024, mulai pukul 17.00 WIB hingga 30 Desember 2024 pukul 17.00 WIB.
Penutupan Gunung Bromo akan dilakukan pada 27-28 Januari 2025, seiring dengan berakhirnya tradisi Wulan Kapitu. Selama periode tradisi Wulan Kapitu, dari 29 Desember 2024 hingga 28 Januari 2025, masyarakat Tengger diwajibkan untuk melaksanakan pantangan.
Adapun pantangan itu, seperti tidak menyalakan lampu, tidak keluar rumah, dan menghindari perjalanan. Selain itu, semua aktivitas yang menimbulkan keramaian, termasuk pertunjukan dan penggunaan sound system, dilarang di seluruh wilayah, termasuk di homestay dan hotel.
Bambang Suprapto menambahkan, penutupan kawasan wisata Gunung Bromo ini akan mencakup seluruh jalur dari Desa Wonokerto hingga Desa Ngadisari, dengan tujuan untuk mencegah kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan knalpot brong, mengakses kawasan tersebut.
Sementara itu, Kepala BB TNBTS, Rudijanta Tjaja, menegaskan bahwa penutupan ini dilakukan untuk menghormati masyarakat Suku Tengger yang sedang melaksanakan tradisi Wulan Kapitu. Wisatawan yang ingin berkunjung ke Gunung Bromo diminta untuk mengalihkan rencana perjalanan mereka sebelum atau setelah periode penutupan.
Artikel ini ditulis oleh Firtian Ramadhani, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(ihc/fat)