Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Prof. Dwi Budi Santoso, S.E., M.S., Ph.D., menegaskan pentingnya sektor pariwisata di Jawa Timur sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045. Menurutnya, pariwisata bisa menjadi sektor strategis yang mampu mempercepat laju ekonomi, khususnya di Jawa Timur.
Dalam webinar EJAVEC di FEB UB pada Kamis (17/4/2025), Prof. Dwi menyebut, dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi tertinggi Jawa Timur tercatat sebesar 6,6 persen, dan belum pernah mencapai 8 persen. Oleh karena itu, penguatan sektor pariwisata diharapkan bisa mendorong capaian tersebut di tahun 2045.
"Hal itu menunjukkan bahwa, tantangan menuju Indonesia Emas 2045 sangatlah besar, apalagi adanya tantangan global," kata Prof Dwi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, Indonesia Emas 2045 merupakan wacana nasional yang dicanangkan sejak 2023 melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Pemerintah berharap, lewat sejumlah sektor unggulan seperti pariwisata, visi besar ini dapat terwujud.
Prof. Dwi menambahkan, secara teoritis, sektor pariwisata memiliki efek multiplier yang luar biasa karena mampu mendorong interaksi antarsektor dalam sistem ekonomi. Dampaknya mulai dari penciptaan lapangan kerja, pemanfaatan sumber daya, peningkatan keterampilan tenaga kerja, hingga mendorong perdagangan dan investasi.
"Secara teoritis ini, kita buat direct effect dari pariwisata itu sebetulnya pada transportasi, hotel, makanan, dan tenaga kerja," jelas Dwi.
Namun, menurutnya, realisasi potensi tersebut tetap membutuhkan upaya serius. Ia menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi bersifat fluktuatif, sesuai dengan teori Solow yang menyebut adanya fase kontraksi dan ekspansi dalam perekonomian.
"Perekonomian itu tidak naik terus atau turun terus, tapi ada kontraksi dan ekspansi," tutur Dwi.
Dalam teori tersebut, peningkatan ekonomi terjadi melalui investasi selama biaya yang dikeluarkan masih lebih rendah dari manfaat yang didapat. Ketika keuntungan investasi mencapai titik maksimal, perekonomian akan memasuki fase overheated, yang jika dipaksakan justru bisa memicu kontraksi ekonomi.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu menciptakan steady state baru dengan tingkat modal dan output yang lebih tinggi. Caranya, kata Dwi, melalui efisiensi investasi, penyederhanaan regulasi, perbaikan infrastruktur, dan penciptaan iklim usaha yang kondusif.
"Ketika efisiensi meningkat dan biaya menurun, maka batas atas pertumbuhan ekonomi akan terdorong lebih jauh, menciptakan peluang bagi daerah untuk keluar dari steady state lama dan masuk ke jalur pertumbuhan baru yang lebih tinggi," terang Dwi.
Dwi juga mengungkapkan, saat ini 38 kota dan kabupaten di Jawa Timur memiliki steady state yang berbeda-beda, sehingga daerah miskin sulit mengejar ketertinggalan dari wilayah perkotaan seperti Surabaya. Perbedaan ini disebabkan kondisi sosial ekonomi awal yang tak setara.
"Ya karena steady state yang berbeda, maka wilayah atau daerah tersebut membentuk club dengan kategori wilayah dengan steady state yang sama, yang dinamakan konvergensi club dengan pusat-pusat pertumbuhan yang berbeda," tambah Dwi.
Lebih spesifik, ia menekankan pentingnya pengembangan pariwisata yang berbasis karakteristik wilayah. Misalnya, Kota Batu yang sudah mapan di sektor pariwisata, kini lebih membutuhkan peningkatan daya tarik dan layanan pendukung ketimbang pembangunan fasilitas dasar.
Terakhir, Dwi menyampaikan bahwa kinerja sektor pariwisata dapat diukur melalui beberapa indikator, seperti kontribusi akomodasi, transportasi, makanan dan minuman terhadap PDRB, serta jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara.
"Dari beberapa indeks tersebut, persentase kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara menjadi indikator bahwa sektor pariwisata di Jawa Timur memiliki daya saing yang baik," tutup Dwi.
(hil/iwd)