Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengusulkan agar sidang isbat dievaluasi karena tidak penting atau tak ada gunanya. Abdul Mu'ti memberikan tiga alasan mengapa sidang isbat perlu dievaluasi.
"Sejak awal memang kami mengusulkan agar sidang isbat itu dievaluasi, alasannya ada tiga," kata Mu'ti kepada wartawan selepas salat Idul Fitri di Kudus, dikutip dari detikJateng, Jumat (21/4/2023).
Alasan pertama, umat Islam memiliki kemampuan untuk menetapkan awal dan akhir Ramadan yakni dengan menggunakan hisab. Pihak Nahdlatul Ulama (NU) pun dinilainya sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua umat Islam baik Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama atau yang lain menggunakan hisab untuk menentukan waktu," lanjut dia.
Alasan kedua, dia menganggap sidang isbat mengandung istilah trivialitas dan redundancy. Menurut Mu'ti, dua istilah itu berarti memiliki arti yang kegiatan yang dilaksanakan tidak ada gunanya dan memiliki arti pengulangan.
"Kemudian yang kedua sidang isbat itu juga di dalamnya itu mengandung saya menyebutnya trivialitas dan redundancy, jadi trivia itu dilaksanakan tapi tidak ada gunanya, tidak penting sebenarnya, dan redundan itu pengulangan yang tidak perlu," jelas Mu'ti.
Lebih lanjut, Abdul Mu'ti memberikan contoh pemerintah telah memiliki kriteria penetapan hilal, yakni posisi bulan 3 derajat dan elongasinya 6,4. Jika kata dia perhitungan hisab kurang dari ketentuan pemerintah maka pada sidang isbat ditolak. Padahal pemerintah sudah tahu hasilnya.
"Kalau kemudian perhitungan hisab di bawah 3 derajat dan elongasinya kurang 6,4, maka tetap saja sidang isbat menolak, kalau tahu itu di bawah 3 derajat kenapa juga masih diadakan sidang isbat, dan ujung-ujungnya ditolak juga," jelasnya.
Dia mengatakan sidang isbat justru seringkali menjadi sumber kegaduhan dan perpecahan. Sebab ada pihak yang merasa sesuai dengan pemerintah dan ada pihak yang berbeda.
"Ketiga sering kali sumber kegaduhan dan perpecahan, kemudian nanti ada perasaan menang atau kalah, ada perasaan kemudian sama dengan atau beda dengan pemerintah," jelas Mu'ti.
"Penolakan salat Idul Fitri di beberapa tempat, setelah kita sampaikan argumen kita diizinkan itu karena dianggap lebih dahulu ini beda dengan pemerintah," dia melanjutkan.
Dia kemudian menyinggung konstitusional Indonesia Negara Pancasila yang mengatur kemerdekaan warganya untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya.
Oleh karena itu dia meminta kepada pemerintah untuk membuka diri. Dia meminta agar penentuan awal dan akhir Ramadan dikembalikan kepada umat masing-masing. Sehingga tidak ada kesan berbeda dan melawan pemerintah.
"Harusnya negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk suatu agama dan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu," kata Mu'ti.
"Cobalah pemerintah membuka diri sidang isbat ini dievaluasi dikembalikan masing-masing umat Islam sehingga tidak ada kesan yang berbeda ini melawan pemerintah dan kemudian masyarakat tidak dibenturkan dengan kepentingan tertentu," pungkas Mu'ti.
(hmw/hmw)