Berdasarkan data BPJS Kesehatan, sebanyak 134.057 pasien gagal ginjal kronis menjalani prosedur hemodialisa atau cuci darah sepanjang tahun 2024. Hal itu membuat biaya pengobatan penyakit ginjal kronis mencapai Rp 11 triliun akibat meningkatnya jumlah pasien yang memerlukan perawatan.
"Tingkat rawat inap pasien gagal ginjal cukup tinggi. Walau sudah cuci darah, tetap bolak balik k RS," kata Deputi Direksi Bidang Kebijakan Penjaminan Manfaat BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani dalam agenda World Kidney Day, dilansir detikHealth, Jumat (14/3/2025).
Sementara itu, data dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2023 mencatat bahwa jumlah kumulatif pasien yang menjalani dialisis mencapai 60.526, dengan total prevalensi pasien sebanyak 127.900.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Umum Pernefri, dr. Pringgodigdo Nugroho, SpPD KGH, menjelaskan bahwa penyakit ginjal kronis (PGK) sering kali tidak terdeteksi hingga fungsinya telah menurun lebih dari 90 persen. Jika fungsi ginjal sudah sangat menurun dan tidak dapat lagi bekerja dengan baik, pasien harus menjalani hemodialisa secara rutin.
"Bagaimana kita bisa menghentikan orang sampai tingkat gagal ginjal, inilah peran untuk mendeteksi dini," kata dr Priggodigdo.
Ia juga menyoroti bahwa hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab utama gagal ginjal kronis. Selain itu, faktor lain seperti penuaan populasi, obesitas, kemiskinan, kelahiran prematur, dan masalah lingkungan juga berkontribusi terhadap kondisi ini.
Meskipun penyakit ginjal kronis bersifat irreversible atau tidak dapat disembuhkan sepenuhnya, perkembangannya masih bisa diperlambat jika terdeteksi sejak dini.
"Oleh karena itu semakin dini sebenarnya semakin baik sehingga menjadi kesempatan kita untuk menghambat penyakit ginjal ini menjadi gagal ginjal. Untuk itu diperlukan pemeriksaan, yaitu pemeriksaan darah dan urine, supaya tidak berlanjut menjadi gagal ginjal," ujar dr Pringgodigdo.
Baca juga: |
(nkm/nkm)