Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Sukabumi Hamzah Gurnita mendatangi lokasi tenda pengungsian warga terdampak penggusuran di Pantai Istiqomah, Citepus, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Kamis (6/2/2025).
Matanya menatap tenda-tenda darurat yang berdiri di atas pasir, tempat 87 jiwa, termasuk balita dan lansia, bertahan di dalam tenda yang terpasang seadanya.
Beberapa anak kecil berlarian di antara tumpukan barang. Sementara orang dewasa tampak duduk muram, wajah mereka menyiratkan kelelahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mohon maaf, saya baru mengetahui hal ini dari media. Pemerintah sama sekali tidak melibatkan kami dalam kegiatan ini. Padahal, kalau bicara rakyat, ada wakil rakyat! Kami saja sudah dilangkahi oleh tim terpadu," kata Hamzah dengan nada tinggi.
Ia langsung berjalan menuju tenda, menyapa warga yang kehilangan rumah dan tempat usaha mereka setelah pembongkaran.
Beberapa orang berbicara dengan suara bergetar, ada yang matanya berkaca-kaca. Seorang ibu menggendong bayinya yang hanya dibalut selimut tipis, sementara seorang kakek duduk di atas tikar yang sudah sobek.
"Seharusnya pemerintah memikirkan dampaknya dulu sebelum melakukan pembongkaran! Bukan mendahulukan eksekusi sementara kebutuhan masyarakat terabaikan, ini persoalan kemanusiaan," ujarnya.
Ia menegaskan, dirinya mendukung program pemerintah, baik di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Namun, ia tak bisa menerima kebijakan yang justru mengorbankan rakyat kecil.
"Saya mendukung program pemerintah, tapi bukan seperti ini caranya! Ini bukan soal setuju atau tidak, ini soal kemanusiaan. Tidak boleh ada warga yang diperlakukan seperti ini tanpa solusi yang jelas," lanjutnya.
Pantauan detikJabar, Hamzah terlihat gusar. Ia mengeluarkan ponselnya, langsung menelepon Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sukabumi, Prasetyo.
Angin pantai bertiup kencang, menggoyangkan tenda-tenda yang rapuh. Suaranya naik turun saat berbicara di telepon.
"Saya minta Pak Prasetyo segera ke sini, sekarang juga, harus ada solusi ke masyarakat," katanya.
Hamzah sempat menghampiri seorang perempuan paruh baya yang duduk bersandar pada triplek lusuh.
Ia adalah Ibu Pupun (55), wanita yang malam sebelumnya terpaksa tidur beralaskan triplek berlapis kain bersama suaminya.
Hamzah jongkok di hadapannya, mendengar dengan saksama setiap keluh kesah yang keluar dari mulut perempuan itu. Pupun bercerita tentang rumah dan warungnya yang telah dihancurkan, tentang bagaimana ia tak punya tempat lain untuk pulang.
"Saya nggak punya rumah lagi, Pak. Saya sudah belasan tahun tinggal di sini, jualan untuk makan sehari-hari. Sekarang saya tidur di sini," katanya, nyaris berbisik.
Hamzah diam sejenak. Ia menarik napas panjang, sebelum menepuk bahu Pupun dengan penuh empati.
"Saya akan perjuangkan ini. Ibu ikut saya dulu ke tenda, kita ngobrol dengan warga yang lain," ucap Hamzah.
Kepada detikJabar, Hamzah menegaskan, bahwa persoalan ini bukan hanya tentang aturan atau kebijakan, tapi tentang kemanusiaan.
"Ini soal hak asasi manusia. Tidak bisa seperti ini! Mereka rakyat, mereka wajib kita layani. Saya ingin tahu bagaimana pemerintah menyelesaikan ini. Saya tunggu langkah dari tim terpadu," tandasnya.
(sya/mso)