Bupati Sumedang terakhir yang bergelar pangeran itu meninggal dunia di Makkah pada 1 Juni 1921. Dialah Pangeran Aria Suria Atmadja yang menjabat dari 31 Januari 1883 - 5 Mei 1919.
Lalu 11 bulan setelah wafatnya atau pada 25 April 1922, orang-orang berkumpul di Alun-alun Sumedang untuk mengingat jasa-jasanya dengan meresmikan sebuah monumen yang belakangan diberinya nama Monumen Lingga.
Langit kala itu begitu cerahnya. Dan, matahari pun menyingkapkan keindahan dari panorama alam tanah Priangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Boom ..." dentuman meriam kemudian terdengar tepat pada pukul 10.00 WIB sebagai isyarat datangnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr. Dirk Fock untuk meresmikan sebuah monumen di Alun-alun Sumedang.
Gambaran suasana itu sebagaimana dalam surat kabar Preangerbode - Culture en Handelsblad edisi 25 April 1922.
Sebelumnya, Dirk Fock yang datang dari Bandung, langsung disambut oleh para pemain gamelan di bale Desa. Sejumlah anak-anak pun dilibatkan sambil mengibar-ngibarkan bendera turut bersorak-sorai di depan sekolah.
Selain para pemain gamelan, para pemain angklung pun dengan instrumen musiknya yang khas turut menyambut kedatangan sang Gubernur Jenderal. Enam buah pesawat terbang yang datang dari Barat terus berputar-putar di langit Alun-alun Sumedang selama acara pembukaan berlangsung.
Tamu-tamu undangan dari Bandung yang hadir kala itu, diantarannya Tuan Reynst dan Van Wely sebagai perwakilan dari Dewan Pusat Persatuan Ekonomi Politik, Tuan Chatelin dan Van den Dungen Gronovius dari I.E.V. Cabang Bandung, Kloppers dan Quispel dari dewan In die Weerbaar, Komandan Divisi Kolonel Van der Weyden dan Komandan Setempat.
Selain itu, hadir juga para asisten residen dari Tasikmalaya, Bandung dan Sumedang. Serta semua penduduk Eropa di Sumedang, Kepala Administratur Jatinangor dan tamu undangan lainnya beserta para pasangannya.
Empat mobil militer yang membawa Gubernur Jenderal tiba di depan kantor pemerintahan bupati. Mobil pertama membawa Gubernur Jenderal Dirk Fork bersama ajudannya Cramwinckel.
Lalu mobil kedua membawa Ibu Eyken dan Tuan Welter. Mobil ketiga membawa Ibu Kroesen bersama ajudannya bernama Brewer dan mobil keempat membawa pasangan brewer serta Tellegen.
Secara garis besar, Dirk Fock dalam pidatonya mengatakan bahwa mendiang Pangeran Aria Suria Atmadja adalah sosok yang patut ditiru. Dimana selama 37 tahun menjabat sebagai bupati kerap kali berjuang memikirkan kesejahteraan dan keselamatan rakyatnya.
Ia pun menyebutkan beberapa jasa yang telah ditorehkan oleh mendiang Suria Atmadja semasa hidupnya. Beberapa diantaranya di bidang peternakan, pertanian dan pendidikan. Dimana untuk pendidikan dengan berdirinya sekolah pertanian di wilayah Tanjungsari.
Seusai berpidato, kain tirai penutup monumen pun pada akhirnya dibuka sebagai simbol bahwa sebuah monumen telah diresmikan sebagai pengingat atas jasa dari mendiang. Momen itu pun disambut sorak sorai dari tamu undangan dan warga yang ada di Alun-alun Sumedang kala itu.
Sebuah piagam berbunyi :
"Dit monument werd ingewijd op Dinsdag 25 April 1922 ter herinnering aan Pangeran Aria Soeria Atmadja. Regent van Soemedang, 31 Januari 1883 - 5 Mei 1919-Ridder van de Orde van den Nederlandschen Leeuw - Officier van de Orde van Oranje-Nassau-gerechtigd tot het voeren van den gouden pajoeng-Begiftigd met den gouden ster van trouw en verdienste-geboren te Soemedang, II Januari 1851; overleden te Mekka 1 Juni 1921"
Kira-kira demikian artinya :
"Monumen ini didedikasikan pada Selasa 25 April 1922 untuk mengenang Pangeran Aria Soeria Atmadja. Bupati Sumedang, 31 Januari 1883 - 5 Mei 1919 - Disematkan gelar Ridder van de Orde van den Nederlandschen Leeuw - Officier van de Orde van Oranje-Nassau-berhak menerima payung keemasan - diberkahi dengan bintang emas atas kesetiaan dan jasanya, lahir di Sumedang, II Januari 1851, meninggal di Makkah 1 Juni 1921"
Selain Dirk Fock sambutan pun diutarakan oleh berbagai perwakilan dari asosiasi, organisasi atau lembaga untuk mengungkapkan rasa atas jasa-jasa yang telah ditorehkan oleh mendiang semasa hidupnya.
Hingga acara pun ditutup oleh sambutan dari Residen Preanger dan doa dari para ulama bergelar haji dalam suasana yang syahdu di tengah ramainya penduduk yang menyemut di sekitaran Alun-alun Sumedang.
Monumen Pangeran Suria Atmadja Jadi Lambang Kabupaten Sumedang
Nina Lubis dalam bukunya, Kehidupan Menak Priangan 1800-1942 (1998), menyebutkan pangeran Suria Atmadja atau Pangeran Mekah masuk ke dalam tokoh menak dalam jajaran birokrasi tradisional.
Birokrasi Tradisional dapat dibedakan menjadi dua, yakni antara yang tidak atau kurang mendapat pendidikan Barat dan yang mendapat pendidikan Barat. Hal itu lantaran pendidikan Barat baru masuk pada abad 19.
Meski Suria Atmadja tidak mengenyam pendidikan Barat, namun disebutkan bahwa dia pernah belajar bahasa Belanda. Saat usianya menginjak 14 tahun, ia diketahui pernah magang sambil belajar bahasa Inggris dan Perancis, selebihnya dijalani secara natural ditambah pendidikan agama di pesantren.
Dia juga termasuk bupati yang menyukai seni sastra. Bahkan ia pernah menulis lirik lagu untuk tarian yang diciptakannya. Ia juga menuliskan sebuah karangan yang berjudul Ditiung Méméh Hujan (Bertudung Sebelum Hujan) pada tahun 1921.
![]() |
Karangannya itu berisi saran kepada Pemerintah Hindia Belanda agar orang pribumi diberi latihan memegang senjata untuk menghadapi musuh yang akan merecoki pemerintahan Hindia Belanda. Buku yang ditulisnya itu ditafsirkan orang sebagai ramalan akan datangnya pendudukan Jepang.
Ia pun kerap menulis surat kepada pejabat bawahannya menggunakan puisi dengan pupuh berupa sinom, dangdanggula, kinanti, dan asmarandana.
Betapa berartinya sosok Pangeran Aria Suria Atmadja atau Pangeran Panuntung atau Pangeran Mekah bagi masyarakat Sumedang, selain dibuatkan monumen oleh pemerintah Hindia Belanda. Monumennya pun kini dijadikan lambang bagi Kabupaten Sumedang.
Lambang tersebut dibuat oleh R. Maharmartanagara. Putra Bupati Bandung Raden Adipati Aria Martanegara yang masih merupakan keturunan Sumedang. Lambang ini diresmikan menjadi Lambang Kabupaten Sumedang pada tanggal 13 Mei 1959.
(yum/yum)