Pantun adalah salah satu warisan sastra Indonesia yang penuh makna. Pantun telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah, termasuk di wilayah Cirebon.
Pantun sering kali digunakan dalam berbagai acara sebagai sarana berkomunikasi dan menyampaikan pesan dengan cara yang menarik. Bahkan, belakangan ini tak jarang pantun juga sering digunakan dalam sebuah acara-acara formal.
Melansir detikEdu yang mengutip buku EYD dan Pedoman Pembentukan Istilah Dalam Bahasa Indonesia oleh E. Waridah, pantun memiliki ciri-ciri tertentu. Antara lain tiap baitnya terdiri dari empat baris (larik).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian tiap barisnya terdiri dari 8 sampai 12 suku kata. Rima akhir setiap baris adalah a-b-a-b. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran. Baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Di Cirebon, Jawa Barat, puisi lebih dikenal dengan sebutan parikan. Di daerah yang terletak di lintas utama jalur pantura ini, pantun atau parikan sendiri ternyata memiliki sejarah panjang dan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat setempat.
detikJabar berkesempatan berbincang-bincang dengan salah seorang seniman asal Cirebon, Uuk Sukarna. Pria 62 tahun itu menjelaskan tentang pantun atau yang di Cirebon lebih dikenal dengan sebutan parikan.
Menurut Uuk, parikan merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sudah ada sejak lama. Ia menyebut, parikan di Cirebon telah muncul sejak tahun 1800an.
"Parikan itu pantun. Itu merupakan salah satu karya sastra. Sastra Cirebon dibagi menjadi empat periode. Yaitu Cirebon Kuna, Cirebon Tengahan, Cirebon Baru dan Cirebon Modern. Nah parikan itu di periode Cirebon Baru, sekitar tahun 1800an," ucap Uuk saat ditemui di kediamannya di Cirebon, baru-baru ini.
Setiap kata pada pantun atau parikan di Cirebon ini menggunakan bahasa daerah. Dalam hal ini yaitu bahasa Cirebon Bebasan dan Cirebon Bagongan atau bahasa yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
"Bahasa yang digunakan ada bahasa Bagogan dan juga yang bahasa Bebasan. Tapi lebih banyak bahasa Bagongan," terang Uuk.
Uuk menjelaskan tiap bait dari parikan khas Cirebon ini biasanya terdiri dari dua hingga empat baris. Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi atau pesan yang ingin disampaikan.
Dengan irama yang khas dan struktur berima, parikan sering kali digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan, nasihat atau perasaan.
"Pesan yang biasanya terkandung di parikan ini ada berbagai pesan. Misalkan pesan kebaikan, pesan moral, pesan agama, sampai candaan juga bisa," kata Uuk.
Uuk lalu memberi beberapa contoh pantun atau parikan yang terdiri dari dua baris tiap baitnya dengan menggunakan bahasa Cirebon Bagongan.
_Gunungsari Tengahtani, Kedungbunder Panauwan_
_Arep marani ora wani, pikir keder ora karuan_
(Gunungsari Tengahtani, Kedungbunder Panauwan, ingin mendekati tidak berani, pikiran pusing tidak karuan)
_Kembang Wijaya Kusuma anae ning Nusakambangan_
_Sejabane umah sejerone Umah, wong demen pengene sawang-sawangan_
(Kembang Wijaya Kusuma adanya di Nusakambangan, di luar rumah di dalam rumah, orang jatuh cinta inginnya saling pandang-pandangan)
_Bode Lor Karangsari, Watubelah Pesalakan_
_Wong jejodohan kena mari, aja pegot wong sanakan_
(Bode Lor Karangsari, Watubelah Pesalakan
Orang berjodoh bisa berakhir, tapi jangan putus tali persaudaraan)
*Wangsalan*
Selain Parikan, masyarakat Cirebon juga cukup akrab dengan Wangsalan. Berbeda dengan parikan, wangsalan ini merupakan kalimat yang mengandung teka-teki. Bahasa yang digunakan dalam wangsalan di Cirebon ini pun menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Cirebon.
"Kalau parikan itu pantun, sedangkan wangsalan itu semacam teka-teki," kata Uuk.
Uuk mengatakan, di Cirebon era kemunculan wangsalan ini sama dengan parikan. Yaitu di periode Cirebon Baru pada sekitar tahun 1800an. "Di periode Cirebon Baru itu mulai ada Parikan dan Wangsalan," jelas Uuk.
Uuk pun memberikan salah satu contoh wangsalan yang menggunakan bahasa Cirebon Bagongan atau bahasa yang biasa digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam contoh wangsalan yang diberikan, Uuk menggunakan kata "Rokok Cendek Pembuangan" sebagai simbol. "Rokok Cendek" atau "tegesan" (puntung rokok) di sini melambangkan permintaan akan ketegasan atau kepastian.
Dalam contoh wangsalan itu, Uuk sedang menggambarkan ungkapan perasaan dari seorang wanita yang ingin tahu tentang kepastian hubungan dari pasangannya.
"Roko Cendek itu maksudnya tegesan (puntung rokok). Kalau di Cirebon kan puntung rokok itu artinya tegesan. Nah wangsalan tadi maksudnya minta ketegasan," terang Uuk.
"Misalnya si perempuan bilang Rokok Cendek Pembuangan. Itu maksudnya minta ketegasan. Karena Rokok Cendek itu maksudnya tegesan," sambung Uuk.
Dalam perjalanannya, parikan maupun wangsalan tersebut sering ditampilkan atau digunakan dalam sebuah pagelaran-pagelaran kesenian tradisional di Cirebon. Seperti kesenian wayang, sandiwara dan tarling.
"Parikan dan wangsalan itu biasanya digunakan di pertunjukan wayang, sandiwara dan tarling. Kalau jaman dulu, sandiwara itu dialognya pakai parikan dan wangsalan," kata Uuk.
(mso/mso)