Masalah sampah di Kota Jogja menjadi perhatian banyak pihak. Komisi C DPRD Kota Jogja yang bermitra dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jogja turut angkat bicara.
Ketua Komisi C DPRD Kota Jogja, Ririk Banowati menjelaskan masalah sampah di Kota Jogja semakin menjadi usai kebijakan desentralisasi sampah dari Pemda DIY diberlakukan, setelah sebelumnya dilakukan pembatasan di TPA Piyungan.
Sedangkan di Kota Jogja yang memiliki masalah besar yakni minimnya lahan, harus memutar otak untuk menghadapi desentralisasi. Alhasil, kejadian tumpukan sampah di jalan serta depo tak terhindarkan dan menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkot Jogja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kehadiran TPST Nitikan dan baru dibukanya TPST Kranon belum mampu mengatasi hal tersebut. TPST Karangmiri pun baru bisa beroperasi pada Juni nanti, itu pun hanya mampu menampung sekitar 30 ton sampah per harinya.
"Mengatasi masalah yang ada di depan mata sekarang, yakni sampah-sampah yang ada di depo dan jalan-jalan. Karena memang kalau mau diambil taruh di mana kan nggak tahu ya," jelas Ririk saat diwawancarai detikJogja, Minggu (19/5/2024).
Jauh sebelum desentralisasi, Ririk mengungkapkan, pihaknya sudah menyarankan Pemkot Jogja untuk membeli lahan untuk TPA di luar wilayah Kota Jogja guna dijadikan tempat pengolahan sampah.
Menurut Ririk, hal itu terjadi pada kurun 2021-2022, saat itu TPA Piyungan ditutup 2-3 hari. Akibatnya Pemkot Jogja pun kelabakan menghadapi sampah-sampah yang membeludak.
"Sedikit gambaran untuk menyelesaikan sampah yang 2-3 hari itu, membutuhkan waktu seminggu (untuk memberesi)," terang Ririk.
"Nah kemudian kan ada COVID-19 ya, akhirnya anggaran itu terlupakan untuk beli tanah. Karena anggaran terserap untuk penanganan COVID-19. Tapi setiap pembahasan di Komisi kami menyarankan Pemkot harus punya tempat pengelolaan sampah sendiri (di luar Jogja)," imbuhnya.
Hingga kini, lanjut Ririk, dalam rapat baik dengan DLH Kota Jogja maupun Bappeda, pihaknya masih menyarankan Pemkot untuk membeli lahan. Pasalnya, ketiga TPST di Kota Jogja sebenarnya tidak laik lantaran berada dekat dengan permukiman warga.
"Kranon, Nitikan, Karangmiri, itu tidak memenuhi syarat, karena kan di lingkungan rumah penduduk. Mungkin secara amdal nggak masuk itu. Harapan kami itu hanya sementara lah. Ke depannya punya lahan sendiri yang lebih luas," paparnya.
"Dulu awal-awal kita datang ke Karangmiri, itu dulu tempat pemilihan. Dan itu kan gedung SD dulunya, itu dulu kami malah menyarankan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH)," sambung Ririk.
Terkait masalah beli lahan ini, Ririk berharap ada campur tangan Pemda DIY. Pasalnya, selain karena sempitnya lahan, Kota Jogja juga merupakan Ibu Kota Provinsi. Ia berharap Pemda DIY memberi sedikit bantuan.
"Iya (beli lahan) di luar wilayah kota Jogja, artinya memang harus dapat support juga dari Provinsi," tutur Ririk.
"Sleman, Bantul, Kota Jogja sama-sama disuruh desentralisasi, tapi yang menjadi sorotan Kota (Jogja) karena jadi Ibu Kota Provinsi. Harapan kami Provinsi berbeda perlakuan untuk Kota Jogja," lanjutnya.
Lebih lanjut, Ririk mengungkapkan pihaknya selalu berkomitmen untuk men-support Pemkot Jogja dalam mengatasi masalah sampah ini, utamanya dari sisi anggaran. Ia juga tak mempermasalahkan jika harus dengan kerja sama pihak swasta.
Namun, harapannya ke depan Pemkot Jogja bisa mengatasi masalah sampah ini secara mandiri tanpa campur tangan swasta. Salah satu cara yakni dengan melibatkan teknologi-teknologi tepat guna.
"Sebenarnya prinsipnya kalau sekarang bekerja sama dengan swasta ya nggak apa-apa dulu, karena memang yang di depan mata sudah dihadapi. Tapi kalau memang (nantinya) bisa mengelola sampah sendiri kenapa tidak?" ungkapnya.
"Maksudnya mengelola sendiri kita beralih ke teknologilah. Mungkin awalannya anggarannya besar, tapi kan makin ke sini jadi ndak besar lagi," pungkas Ririk.
(rih/dil)
Komentar Terbanyak
Pelaksanaan Makan Bergizi Gratis Sejumlah Sekolah di Jogja Berhenti
Klarifikasi Bibit Terlapor Kasus Mafia Tanah Mbah Tupon Bantul
Ini Alasan Makan Bergizi Gratis Sejumlah Sekolah di Jogja Dihentikan