4 Novel Sentil Cengkeraman Kekuasaan Militer

Redaksi detikpop merangkum sejumlah novel fiksi yang menyentil cengkraman kekuasaan militer sebagai latar peristiwa. Berikut di antaranya:
1. Tetralogi Buru (Pramoedya Ananta Toer)
Pramoedya Ananta Toer terkenal karena Tetralogi Buru atau Tetralogi Bumi Manusia. Empat roman yang ditulisnya dan terbit sepanjang 1980 hingga 1988 dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa.
Tetralogi Buru ini mengungkapkan sejarah keterbentukan Nasionalisme pada awal Kebangkitan Nasional, dan pengukuhan atas seorang yang bernama Tirto Adhi Soerjo yang digambarkan sebagai tokoh Minke.
2. Laut Bercerita (Leila S Chudori)
Leila S Chudori lihai menceritakan di balik peristiwa 1960-an hingga 1990-an yang melanda Indonesia dalam novel fiksi. Laut Bercerita memakai sudut pandang aktivis di masa dekade 1998.
Novelnya menjadi dua bagian dan dua sudut pandang. Bagian pertama tentang Biru Laut, yang menunjukkan segala kepedihan dan ketakutan sebagai aktivis kritis yang berani menyuarakan isu sosial pada medio 1991 sampai 1998. Kelompoknya dianggap berbahaya, mereka pun ditangkap, dihukum secara fisik dan mental.
Bagian kedua tentang keluarga yang kehilangan saudara. Dikisahkan lewat penuturan Asmara Jati, yang dimulai dari tahun 2000 sampai 2007.
3. Namaku Alam (Leila S Chudori)
Pada usianya yang ke-33 tahun, Segara Alam menjenguk kembali masa kecilnya hingga dewasa. Semua peristiwa tertanam dengan kuat. Karena memiliki photographic memory, Alam ingat pertama kali dia ditodong senapan oleh seorang lelaki dewasa ketika masih berusia tiga tahun.
Pertama kali sepupunya mencercanya sebagai anak 'pengkhianat negara', pertama kali Alam berkelahi dengan seorang anak pengusaha besar yang menguasai sekolah, dan pertama kali dia jatuh cinta.
Segara Alam adalah salah satu karakter dari novel Pulang, yang dieksplorasi lebih panjang ke dalam novel Namaku Alam.
4. Notasi (Morra Quatro)
Novel yang ceritain tentang mahasiswa Teknik Elektro dan Nalia dari kampus ternama di Yogyakarta yang menjadikan Reformasi 1998 sebagai latar cerita. Awalnya, mereka dipertemukan dalam urusan BEM namun ada peristiwa penembakan karena mengkritik pemerintahan Orde Baru.
(tia/dar)