Thunderbolts*: Harapan Baru Marvel
EDITORIAL RATING
AUDIENCE RATING

Sinopsis:
Yelena Belova (Florence Pugh) melanjutkan hidupnya sebagai agen rahasia yang bekerja untuk Valentina Allegra de Fontaine (Julia Louis-Dreyfus).
Ia mengerjakan misi berbahaya dari Valentina yang sekarang menjabat Direktur CIA, seperti saat dikirim ke Malaysia untuk menghancurkan berkas-berkas OXE, perusahaan lama bosnya.
Misi itu tidak lepas dari posisi Valentina di CIA yang terancam karena digugat kongres AS. Ia dituding menyalahgunakan wewenang karena masih mengendalikan OXE, sehingga Valentina berusaha melenyapkan bukti-bukti tersebut.
Yelena mampu menyelesaikan misi itu dengan baik, tetapi muncul pergulatan batin dalam dirinya tentang pekerjaan yang selama ini dijalani. Ia merasa hampa mengerjakan misi-misi berbahaya setiap waktu.
Rasa galau itu sedikit tercerahkan setelah Yelena bertemu kembali dengan Alexei (David Harbour), ayahnya, setelah satu tahun tidak bertemu.
Ia mengaku ingin menjadi lebih terlihat di publik dan bermakna bagi masyarakat. Pada waktu yang sama, Valentina menghubunginya untuk misi terakhir sebagai agen rahasia.
Yelena diminta pergi ke pusat riset OXE di lokasi terpencil, mengawasi gerak-gerik seorang agen rahasia yang membelot, lalu menghabisinya.
Review:
Seorang laki-laki yang tak dikenal oleh warga New York melayang di udara. Bentuknya hitam pekat dan dari auranya ia kelihatan begitu menyeramkan. Helikopter mendatanginya dan ia dengan mudah melumpuhkan pilot yang akhirnya membuat helikopter tersebut menabrak tiang pembangun gedung yang akhirnya membuat jalanan New York dihujani oleh dinding beton dan puing-puing gedung. Avengers tidak akan datang dan sekarang semua orang bergantung pada sekelompok pahlawan kelas dua.
![]() |
Setelah Captain America: Brave New World yang lebih terasa seperti salah satu episode serial Marvel di Disney+, beruntung Marvel Cinematic Universe (MCU) masih memiliki sisa peluru untuk menarik penonton ke bioskop lagi. Di atas kertas, film tentang anti-hero yang berkumpul menjadi satu untuk menjadi pahlawan rasanya seperti versi lain Suicide Squad (yang memiliki dua versi bahkan). Tapi ternyata Thunderbolts* sama sekali tidak mengikuti jejak para anti-hero DC tersebut. Film ini ternyata memilih jalur yang lebih sederhana: kembali ke formula awal.
Thunderbolts* memulai filmnya dengan narasi sendu. Yelena (Florence Pugh) tidak menyembunyikan rasa hampanya mengerjakan pekerjaan kotor untuk mengisi hari-harinya. Bahkan meledakkan lab milik Valentina Allegra de Fountaine (Julia Louis-Dreyfus) terasa seperti rutinitas. Semua gerakan lawan terasa monoton, semua rintangan seperti makanan ringan. Tidak ada yang membuatnya bergairah. Yelena bahkan sampai menghubungi "bapaknya", Alexei (David Harbour), untuk mencari warna baru dalam hidupnya. Semuanya berubah ketika misi baru mempertemukannya dengan orang-orang baru.
Dalam misi tersebut, Yelena bertemu dengan Walker (Wyatt Russell), Ghost (Hannah John-Kamen) dan Bob (Lewis Pullman). Berbeda dengan Walker dan Ghost yang punya kemampuan super, Bob nampak seperti warga yang salah tempat. Tubuhnya sama sekali tidak atletis dan terlihat sekali ia tidak memiliki kemampuan bela diri. Tapi dari pertemuan singkat mereka, Yelena tahu ada sesuatu dalam diri Bob. Dan hubungan inilah yang nanti menjadi kunci dari Thunderbolts*.
![]() |
Bagian mengejutkan dari film ini mungkin adalah kenyataan bahwa film ini terasa grounded. Bahkan dengan antagonis yang bisa melenyapkan seluruh penduduk New York, Thunderbolts* terasa jauh lebih dekat daripada film-film lain dari MCU. Keputusan penulis skrip Eric Pearson dan Joanna Calo untuk fokus kepada masalah mental untuk menjadi tema besarnya terasa revolusioner sekaligus tepat guna.
Tidak seperti film-film sejenis yang mengumpulkan sekumpulan anti-hero hanya untuk "keren-kerenan", film ini mencoba mencari benang merah antara karakter-karakternya. Yelena, Ghost, Walker, Alexei dan nantinya Bucky (Sebastian Stan) adalah korban dari masa lalu kelam dan trauma yang sudah mendarah daging. Menaruh villain yang memaksa protagonisnya berhadapan dengan trauma mereka adalah salah satu keputusan yang berani.
Yang juga menarik dalam Thunderbolts* adalah bagaimana sutradara Jake Schreier membungkus humor film ini. Jangan salah sangka, Thunderbolts* masih tetap produk MCU yang penuh dengan one-liner dan sentuhan humor di setiap adegannya. Tapi berbeda dengan film-film MCU yang lain, Thunderbolts* agak "tahu diri". Ia tidak bercanda ketika film ini membutuhkan momen untuk serius. Karakter-karakternya tidak selalu dipaksa untuk mengeluarkan dialog lucu. Akibatnya, Thunderbolts* menjadi terasa agak lebih segar karena semua momennya tidak diinterupsi oleh humor yang tidak perlu.
Dari segi pengadeganan, Schreier meramu adegan-adegan Thunderbolts* dengan cukup percaya diri. Adegan Yelena bertemu dengan Walker dan Ghost untuk pertama kalinya terasa energetic dan lincah. Semua karakter berantem satu sama lain tapi saya tidak kebingungan untuk fokus dengan siapa.
![]() |
Selain itu, banyaknya adegan yang benar-benar dilakukan di lokasi betulan juga mempengaruhi visual Thunderbolts* secara keseluruhan. Dengan tema yang serius, film ini jadi terasa jauh lebih real dibandingkan dengan film-film MCU yang lain.
Dari jajaran pemain, hampir semua pemain mendapatkan jatah untuk bersinar. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa hati dan jantung film ini ada di tangan Florence Pugh dan Lewis Pullman. Mereka mendapatkan tugas yang serius untuk membawa film ini. Sementara Pugh bertugas menjadi kompas moral film ini, Pullman harus terlihat meyakinkan tidak hanya sebagai laki-laki yang kelihatan cupu tapi di saat yang bersamaan ia harus bisa meyakinkan menjadi ancaman. Berita bagusnya adalah mereka berdua melakukan tugasnya dengan baik.
Baca juga: Thunderbolts*: Florence Pugh Mode Depresi |
Dengan klimaks yang akan mengingatkanmu akan film-film klasik (bisa Being John Malkovich, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, atau Inception), Thunderbolts* ternyata mempunyai kemampuan yang cukup untuk membuat bahkan seorang pesimis seperti saya terhadap masa depan MCU. Kalau Fantastic Four yang akan tayang mengambil rute yang sama, MCU bisa jadi akan jaya kembali.
Thunderbolts* dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
Genre | Superhero, Action, Adventure, Drama, Crime, Fantasy, Political Drama, Sci-Fi |
Runtime | 2 jam 6 menit |
Release Date | 30 April 2025 |
Production Co. | Marvel Studios |
Director | Jake Schreier |
Writer | Eric Pearson, Joana Calo, Kurt Busiek |
Cast | Florence Pugh, Sebastian Stan, Julia Louis-Dreyfus |