Gunung Bromo di Probolinggo memiliki keindahan alam yang memukau hingga menjadi salah satu destinasi wisata terpopuler di Indonesia. Namun, bagi suku Tengger yang tinggal di sekitarnya, Gunung Bromo bukan hanya sekadar objek wisata.
Suku Tengger yang mendiami kawasan pegunungan di sekitar Bromo memandang gunung tersebut sebagai tempat suci yang penuh dengan nilai tradisional dan kepercayaan para leluhur.
Mulai dari upacara Kasada yang sakral hingga tradisi lain yang diwariskan secara turun temurun masih sering dilaksanakan masyarakat Suku Tengger.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenal Suku Tengger
Suku Tengger merupakan suku asli yang yang bermukim di sekitar area dan lereng Gunung Bromo. Suku Tengger memiliki wilayah adat yang terbagi atas dua wilayah, yakni sabrang kulon dan sabrang wetan. Pembagian wilayah tersebut memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan upacara yang dilaksanakan Suku Tengger.
Asal-usul Suku Tengger memiliki kaitan erat dengan kepercayaan kepada legenda dan tradisi masyarakatnya terutama penghormatan pada leluhur, yakni Jaka Seger, Rara Anteng, dan Raden Kusuma.
Nama Tengger dipercaya berasal dari kata "Teng" yakni Rara Anteng dan "Ger" yakni Jaka Seger. Masyarakat suku Tengger mempercayai mereka merupakan keturunan Roro Anteng dan Joko Seger.
Populasi Suku Tengger berjumlah sekitar 23.000 jiwa yang tersebar di beberapa desa meliputi Desa Ngadas, Jetak, Wontoro, Ngadirejo, Ngadisari, Tosari, Ledokombo, Pandansari, Wonokerso, Sedaeng, Ngadiwono, dan Argosari. Masyarakat Suku Tengger mayoritas memeluk agama Hindu dengan keturunan kerajaan Majapahit.
Suku Tengger dalam Memandang Gunung Bromo
Dilansir dari jurnal berjudul Semerbak Harum Sang Kusuma: Wadah Pelestarian Seni dan Budaya Suku Tengger di Puncak Bromo karya Delphin J dan Sutisna, kondisi lingkungan Suku Tengger yang bermukim di kaki gunung mempengaruhi kepercayaan penduduknya terhadap makna sebuah gunung.
Bagi Suku Tengger, Gunung Brahma atau yang dikenal sebagai Gunung Bromo dianggap sebagai gunung yang sakral dan suci. Penduduk Suku Tengger sangat menghormati Gunung Bromo.
Suku Tengger meyakini leluhur mereka bersemayam di dalam gunung tersebut. Tak heran, banyak dari upacara adat dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan dan pemujaan kepada nenek moyang di kaki Gunung Bromo.
Kawah Gunung Bromo merupakan tempat suci bagi suku Tengger, yang digunakan sebagai persembahan hewan ternak dan hasil bumi dalam upacara Kasada. Persembahan tersebut dilemparkan ke dalam kawah Gunung Bromo.
Upacara Kasada dilaksanakan untuk menghormati anak Jaka Seger dan Rara Anteng yang bernama Raden Kusuma. Ia dipercayai telah berkorban dalam melindungi Suku Tengger dari bencana alam yang dahsyat.
Suku Tengger memegang teguh kepercayaan yang kuat terhadap roh leluhur. Setiap tahunnya Suku Tengger melaksanakan upacara Kasada sebagai upacara pemujaan kepada roh leluhur yang dilakukan di kawah Gunung Bromo.
Asal-usul Yadnya Kasada Suku Tengger
Yadnya Kasada merupakan upacara yang hanya dilakukan Suku Tengger sebagai pemeluk agama Hindu. Sementara pemeluk Hindu lain tidak menggelar upacara tersebut. Upacara ini sangat berkaitan erat dengan asal-usul masyarakat Tengger terkait legenda Roro Anteng dan Joko Seger.
Dikisahkan,setelah menikah, Roro Anteng dan Joko Seger ingin memiliki anak hingga akhirnya mulai memohon kepada Dewata agar dikaruniai 25 orang anak. Permohonan mereka dikabulkan, namun dengan syarat anak ke-25 harus dipersembahkan untuk Dewa Bromo.
Cerita yang berkembang, saat beranjak dewasa, Kusuma anak ke-25 dari Roro Anteng dan Joko Seger menceburkan diri ke kawah Gunung Bromo dan meminta saudara-saudaranya untuk memberikan kurban ke kawah Gunung Bromo pada bulan kesepuluh saat bulan purnama. Hal inilah yang menjadi asal mula upacara Kasada.
Ketentuan Yadnya Kasada di Kawah Gunung Bromo
Adapun tiga tempat penting yang dilakukan saat prosesi perayaan Kasada, yakni rumah dukun adat, Pura Poten Luhur, dan kawah Gunung Bromo. Upacara dilaksanakan mulai dari tengah malam hingga dini hari, diawali dari rumah dukun adat pada pukul 00.00 WIB hingga tiba di Pura Luhur Poten pada pukul 04.00 WIB.
Ritual Kasada dilaksanakan dengan menempuh perjalanan dari Pura Luhur Poten menuju kawah Gunung Bromo. Perlengkapan sesaji yang digunakan terdiri dari dua unsur penting, yakni kepala bungkah dan kepala gantung. Bagi yang memiliki permohonan khusus, diisyaratkan untuk membawa ayam atau kambing sebagai persembahan.
Setiap kalangan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda dalam melaksanakan ritual Kasada, tergantung pada sudut pandang pemaknaannya. Dalam konteks religi komunitas, makna ritual Kasada memiliki kaitan erat dengan kepercayaan Gunung Bromo.
Selain menjadi salah satu upacara sakral, Yadnya Kasada juga memiliki pesona wisata budaya yang sangat kuat dengan berlatar panorama Gunung Bromo. Banyak wisatawan yang mengagumi pesona budaya dan alam Tengger.
Artikel ini ditulis oleh An Nisa Maulidiyah, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/fat)